Perjalanan kali ini pastinya berbeda, dengan gunung tertinggi di pulau Jawa, medan yang baru bersama orang-orang yang baru. Pendakian ini juga merupakan pendakian pertama ku dengan pasangan. Padahal tadinya aku paling anti untuk melakukan pendakian dengan pasangan, karena takut akan banyak larangan atau malah repot mengurus pasangan. Tapi aku yakin, pasanganku ini tidak akan melakukan hal itu karena jam terbangnya mendaki jauh lebih banyak dariku.
Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Sidoarjo dengan menggunakan kereta ekonimi. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 15 jam. Aku sudah bangun dan tertidur berkali-kali. Dari semangat membara membicarakan tentang pengalaman akangku mendaki atau survival di alam hingga bernyanyi-nyayi sudah kami lakukan berdua. Tapi perjalan beru setengah dari tujuan akhir.
Di Sidoarjo rencananya kami berdua (aku dan akangku) akan bersinggah sebentar bersilaturahim dengan sensei Iaijutsu (seni pedang jepang) dan belajar traditional archery. Kira-kira pukul 12 malam kami tiba di Sidoarjo di jemput oleh sensei Kenji dan menujuru rumahnya.
Keesokan paginya setelah kami bangun dan sekedar mencuci muka, sensei mengajarkan tentang apa itu Traditional archery, mulai dari memilih batu untuk dijadikan mata panah hingga belajar memanah dengan jarak 5 meter. Sebuah pengalaman menarik, seni yang benar-benar menuntut feeling dan perlu banyak latihan agar bisa mengenai sasaran. Singkat cerita selama 1 jam terus menerus latihan memanah, aku beberapa kali berhasi mengenai target dan grouping. Cukup memuaskan. Mau belajar lebih lanjut lihat youtube-nya aja disini
Hari berganti sore, kami pun diantar sensei menuju terminal bus untuk menaiki bus tujuan Malang. Ini merupakan trip pertamaku dengan benar-benar hanya bermodal informasi. Kami berdua belum pernah ada yang menaiki bus dari Sidoarjo menuju Malang, atau melanjutkan dari Malang naik angkot ke Pasar Tumpang. Well, Im glad I didn't do the trip all by my self. Dengan membawa carrier dan snack selama di bus, kami memulai perjalanan ke Malang dengan mata tertutup setelah bus mulai berjalan 15 menit.
Setibanya di Malang, kami terbangun dan suasana kota berubah, banyak sekali hotel-hotel dan pusat perbelanjaan. Udara sedikit lebih sejuk dibandingkan dengan Sidoarjo. Sedikit disorientasi karena saat mata kami tertutup mentari masih bercahaya dan begitu kami tiba malam telah tiba. Turun dari bus, mencari angkot menuju Pasar Tumpang membuat kami berputar-putar diterminal bus. Tak kalah dengan terminal bus di Sidoarjo yang sangat tertata dan nyaman, di Malang juga demikian, tak terlalu sulit menemukan angkot yang akan kami tumpangi hingga Pasar Tumpang, karena carrier kami yang sudah menjadi lambang pendaki menuju Semeru.
Karena sepi penumpang malam itu, supir angkot meminta kami menunggu hingga setidaknya ada pendaki lain yang datang. Kamipun sempat makan malam nasi rawon. Perjalanan terminal Malang ke Tumpang tak memakan waktu banyak. Jalanan yang muali sepi membuat angkot melaju cukup kencang.
Udara mulai terasa lebih sejuk di Pasar Tumpang, kami berhenti di basecamp mobil Jeep yang akan membawa kami ke basecamp Semeru. Oleh pengelolah yang baik hati kami ditawari pilihan untuk bermalam atau langsung diantar ke basecamp Semeru sekalian beliau jalan pulang. Awalnya kami ragu-ragu karena 90% rombongan kami masih di Surabaya dan baru ke Pasar Tumpang esok hari. Tetapi pertimbangan harga yang lebih murah, dan tidak mau menghabiskan waktu, kamipun memutuskan pergi ke basecamp setelah melengkapi logistic kami. Beruhubung headlampku hilang diperjalanan akangku Ekspedisi Sriwijaya bersama anak-anak Labschool, aku harus mencari toko yang menjual headlamp tengah malam. Untukng saja tak jauh dari camp Jeep terdapa toko outdoor yang masih buka. Dengan dipinjamkan motor salahsatu mas penunggu camp kami melengkapi logistic seperlunya.
Hampir pukul 3 kami tiba di basecamp Semeru (Ranu Pane), karena perjalanan cukup panjang akupun terjatuh ketika melangkah turund dari Jeep. Untung saja mukaku yang memerah karena malu tertutupi gelapnya malam. Dari tempat drop off Jeep kami berjalan sekitar 200m berkumpul dengan para pendaki lainya. Perut kami yang lapar dikalahkan oleh rasa kantuk yang sudah menyelimuti.
Aku yang bertugas membawa tenda dari Jakarta terkejut melihat kondisi tendaku yang sama sekali tidak layak. Tenda yang sudah hampir bolong didiberapa tempat karena terciprat cat dan tidak terlalu tahan air membuatku was was akan udara yang akan dihadapi nanti di Ranu Kumbolo yang menurut update di FB bisa bersuhu minus 5 derajat. Akangku hanya membawa flysheet, tapi mudah-mudahan itu sudah cukup membantu.
Lalu masalah kembali datang, ketika uji coba pertama menggunakan sleeping bag yang baru saja ku beli di Ace Hardware sama sekali tidak membantu melindungiku dari terpaan suhu yang cukup dingin. Dan ingatanku kembali ke minus 5 derajat yang akan di rasakan di Ranu Kumbolo. Berbekal sarung tangan tracking yang tidak bergaransi menghangatkan, jaket baru hadiah akangku, kaos kaki 2 lapis dan kupluk aku berusaha tidur.
Pagipun tiba sangat lambat. Kami berhasil tidur jam 4 pagi dan setengah 6 sudah terbangun oleh suara-suara pendaki yang mulai mengepak barang-barang bawaanya. Banyakan dari mereka sudah menyelesaikan pendakian. Tapi banyak pula pendaki yang tiba pagi itu. Dengan tenda masih berdiri sendiri kami menikmati rasanya hangat mentari sambil menunggu romobongan seniorku Kang Dono tiba beserta 6 murid SMAN 1 Purwodadi.
To Be Continue...
No comments:
Post a Comment