Well, sejak saat itu aku bercita-cita jadi conservationist, ikut mendonasi di beberapa NGO seperti WWF dan Greenpeace, hidup tanpa pelastik saat sedang berkuliah di Malaysia. Sempat juga bercita-cita untuk ikut grup pecinta alam ketika berkuliah nanti. Sayang sekali di kampusku dulu rata-rata penghuninya berkeringat saja malas, ketika akan di buat Scout group oleh guruku yang berasal dari Dayak, hanya aku seorang perempuan yang mendaftar. Sedih memang.
Cita-citaku sehubungan dengan alam begitu banyak, mulai dari ingin menjadi dokter hewan dan bekerja di kebun binatang Australia seperti idolaku Steve Irwin, bekerja volunteer di NGO yang bergerak di bidang perlindungan satwa dan alam sampai cita-citaku yang tidak pernah mati hingga saat ini, yaitu menjadi Wildlife photographer untuk National Geography. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan arah dan kesempatan untuk menggapai cita-citaku yang terakhir.
Aku sangat menikmati keindahan alam yang alami, baik itu di puncak gunung atau di bawah laut. Tahun lalu aku berkesempatan meng-explore bawah laut di Kepulauan Seribu dan meliahat keindahannya. Recently, aku berkesempatan ikut menaiki gunung tertinggi ke2 di dataran Jawa.
Pemandangan dari puncak Lawu |
Tanggal 20-22 Maret 2015 lalu aku pergi bersama beberapa orang lainya mendaki gunug Lawu di Solo. Dengan penuh semangat aku mempersiapkan alat-alat yang di butuhkan. Papaku dulunya pendaki gunug dan penjelajah hutan karena dia adalah geologist. Papa membantuku menyiapkan segalanya, bahkan menyuruhku latihan dengan membawa carrier yang di isi botol minum, namu aku tak mengindahkanya, karena menurutku rutinitas ku berlari 2.5 kilo di gym sudah cukup menjadi garasnsi bahwa staminaku okay.
Karena aku merasa tertantang dengan statement papa bahwa aku gak akan kuat mendaki dengan berat carrier sekitar 7kg aku setengah mati mempertahankan niatku menggendong tas itu sampai puncak dan membawanya turun pun sendiri. Alhasi di dalam satu group berjumlah 17 orang dan perempuan 6 orang, Aku adalah salah satu dari 2 orang yang membawa carrier sendiri tanpa porter. Tentu saja beban di bahuku semakin terasa ketika pendakian semakin tinggi. Graviasi mulai menambah penderitaanku. Berkali-kali aku hampir oleng di buatnya. Tetapi semangat yang diberikan oleh Om dan Tante yang ikut dalam perjalanan membuatku tetap optimis bahwa aku mampu. Wong mereka aja yang umurnya 2kali lipat lebih tua dariku mampu. Bahkan saat yang bersamaan bocah 5 tahun juga ikut mendaki. Jadi aku tak boleh kalah. Begitu aku mulai menyerah terbesit beberapa kalimat yang aku bacar dari buku Negeri 5 Menara selama perjalanan ke Solo. " Kalo tidak kuat 100m lagi coba 200m lagi. Kalo masih gak kuat 200m lagi coba 500m lagi. Kalo gak kuat 500m lagi coba 1km lagi' gumamku dalam hati sepanjang perjalanan.
Bawaanku ketika mendaki- photo by Astari |
Tak hanya tekad ku yang kuat berhasil membawaku ke puncak, tetapi pemandangan selama perjalanan dan keheningan yang ada membuatku lupa akan beratnya beban yang harus di pikul. Dalam langkah mulai perlahan aku memandang langit yang cerah biru, walau sebagian besar tertutup rindangnya pohon atau kabut. Bau harum rumput dan dedaunan basah oleh mebun, tanah yang gembur, suara burung berkicau, memberikan sebuah ketenangan dalam jiwa. Rasanya seperti di purify lagi, dan aku tersenyum sambil humming sepanjang perjalanan.
Semakin mendekati puncak, pemandangan semakin indah, pengalaman yang luar biasa bagiku karena berhasil mencapai puncak dengan kegigihan usahaku sendiri. Pemandangan yang bisa ku lihat di tempat kami akan bermalam sungguh menyejukan mata, rasa lelahpun hilang. Tapi begitu malam tiba badanku rasanya linu, terutama betis dan kakiku.
Kabut yang menutupi kedalaman jurang |
Trek Pendakian |
Suatu kejutan untuk ku bahwa di atas tidak ada air, dan yang dikatakan toilet adalah sebuah gubuk sederhana yang bisa terlihat dari luar, lalu di dalamnya terdapat lubang yang sudah di semen rapih sekelilingnya. Lubang itu mungkin seukuran 20x35 cm dan kedalamnya 1,5m. Tapi mendengar cerita para seniorku yang sudah menaiki berbagai gunung, fasilitas ini lumayan. Well, mau gak mau aku harus beradaptasi karena gak ada pilihan lain.
Paginya sekitar pukul 5 pagi, kita semua bersiap-siap untuk menaiki puncak dan melihat sunrise. Hanya saja di Lawu, matahari muncul lebih cepat di banding kan di Bromo. Sehingga begitu sampai ke puncak sudah terang. Tetapi pemandangan begitu menakjubkan dari ketinggian 3265m Dari Permukaan Laut. Kami ber foto-foto dengan antusias agar moment dan jeri payah mendaki tersimpan abadi di kamera kami. Aku merasa perjalanan terbayarkan, aku bersyukur karena masih di berikan kesempatan dan kekuatan untuk menikmati alam ciptaan Sang Maha Kuasa.
Setelah sarapan nasi pecel bikinan Mbok Yem, kami turun menempuh jalur yang berbeda dari saat mendaki. namanya Cemoro Sewu, lama perjalanan lebih singkat dari jalur pendakian Cemoro Kandang, tapi sepanjang jalan turun kami harus malalui tangga-tangga terbuat dari batu yang tingginya beragam. Seringkali aku haru duduk terlebih dahulu untuk menuruni satu anak tangga.
Perjalan di persulit dengan hujan yang tiba-tiba datang. Di tambah jas hujanku gagal berfungsi, sehingga ketika kami kira hujan mulai reda, Om Agus menyarankan untuk di buka saja dari pada panas. Hanya 5 detik setelah aku membuka jas hujan, hujan kembali bersemangat deras membasahi. Karena sudah terlanjur basah, aku berjalan dengan semangat menuruni jejang-jenjang batu. Lama kelamaan aku merasa kedinginan, rambut yang di tutupi topi sudah basah kuyub, carrier semakin berat karena basah, sepatu pun perlahan mulai menampung air. Langkahku semakin berat, medah perjalanan turun yang itu-itu saja membuatku mulai bosan dan kelelahan. Tetapi di bantu oleh salah satu porter Mas Ledheng (nama gaulnya) dan teman bicaraku Astari aku tetap berkicau untuk membuat perjalanan menjadi lebih bersemangat. Di post terakhir sebelum pintu basedcamp kami beristirahat karena kaki sudah mulai ngetrill bergetar. Tiba-tiba ada seorang anak smp/sma perempuan yang jatoh pingsan. Sejurus teman-teman perjalananku yang hanya berempat mulai kawatir dengan kondisiku yang harus membopong carrier yang semakin berat dan badan yang basa kuyup. Tetapi aku meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Setelah pos satu perjalan menjadi cukup landai, hanya batu-batu yang tersusun tidak teratur memberi resiko tersandung atau terpeleset. Tetapi aku berusaha mengatur langkah lebih cepat dan stabil, karena aku tidak mau terkena hipotermia lalu pingsan dan siapa yang akan membopong badanku yang perkasa ini beserta carriernya?
Langkahku begitu cepat sehingga meninggalkan ke4 temanku di belakang. Mereka sudah mulai lelah, lutut mulai linu dan kaki yang sudah mulai lecet. Hanya 1 perbedaan mereka dengan ku, mereka tidak basah kuyub. Aku bergegas melewati jalan yang semakin lama semakin datar. Begitu melihat beberapa pondok dan gapura basecamp aku tersenyum lebar dan menyemangati diriku lagi bahwa langkahku hanya tinggal beberapa meter lagi. Tapi sisi lain hatiku sedih bahwa perjalananku harus berakhir sebentar lagi. Usaha yang aku kerahkan melawan rasa lelah tubuh sendiri selama pendakian dan jalan turun telah menjadi bukti bahwa selama aku mau berusaha apapun pasti terjadi. Perjalanan yang hanya 2 hari ini telah membuatku lebih optimis. Aku memiliki keluarga dan teman-teman baru, pengalaman dan pemandangan yang sudah di simpan dalam-dalam di otak dan lubuk hatiku. Walau ketika mendaki dan badan juga nafas mulai lelah aku terbesit pikiran 'Apaan sih nih pake ikut-ikut naik gunung segala?!' kesalku ketika itu. Tapi aku tau pasti sekarang aku ketagihan. Cerita para tante dan om yang sudah menjelajahi Rinjani dan betapa indahanya KErinci membuatku tak sabar, menunggu program-program acara lain dari KARASH untuk pendakian yang lebih menantang. Sekarangpun aku bertanya-tanya kapan lagi aku akan mendaki?