Pagi hari tiba, tubuh yang lelah membuat kami yang berencana melihat mentari terbangun dari peraduanya dari puncak Gunung Merbabu tak dapat membuka mata pada waktunya. Akhirnya sang surya bangun terlebih dahulu, walaupun ketika kami duduk memandang angkasa pagi itu, mentari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya.
Angin masih bertiup, lebih perlahan memang, menyapa tubuhku yang rindu akan hangatnya mentari. Sekarang pemandangan berbeda terhampar di bawah kakiku. Langit bewarna jingga disinari sang mentari. Aku bisa melihat betapa tingginya aku berdiri. Betapa jaunya area yang telah di tempuh semalam tadi.
Warna hijau kekuningan hiasi punggung Gunung Merbabu, bebatuan besar dan pasir-pasir vulkanik menyelimuti area post kami. Aku berbaring di atas batu yang ukuranya lebih besar dari lebar tanganku. Mempersilahkan cahaya dan hangatnya mentari menghangatkan badanku. Tetapi aku tak bisa berlama-lama diam tanpa mendokumentasikan aksi teman-temanku terkesima menatap indahnya mentari. Mendokumentasikan mata hari yang malu-malu keluar dari peraduanya. Tanpa perlu berusaha, semua foto yang aku ambil terlihat indah. Rasa syukur ku panjatkan, alunanya dibawa terbang hembusan angin menuju cakrawala luas.
Pagi itu semakin tak terlupakan ketika kami para wanita memutuskan untuk memasak di bawah tiang pemancar. Kami siapkan trangea, roti, mentega, susu kental manis dan susu Milo tak lupa kopi untuk para lelaki. Semuanya berencana untuk sarapan roti bakar pagi ini, dan kita semua memiliki cara berbeda untuk membuat roti bakar. Padahal di kota, membuat roti bakar menjadi hal yang tidak perlu di pikirkan caranya. Mungkin rutinitas sarapanku setiap hari yang membuat aku terheran-heran mengapa membuat roti bakar di atas gunung dengan alat seadanya menjadi lebih menarik.
Memang, kehidupan di kota membuat ku melihat apapun yang terjadi dengan kacamata ‘Ah sudah biasa” sehingga taka ada hal yang membuatku tertarik. Tetapi hanya dengan kegiatan yang begitu simple seperti ini bersama orang-orang yang ku kenal dekat selama perjalan mendaki menjadi hal yang tak terlupakan.
Momen makan roti bakar pagi itu bertambah menarik dengan kehadiran tamu yang tidak di undang., monyeet!!!! Awalnya seekor monyet betina datang menghampiri post kami dengan siaga. Lalu kami lemparkan sobekan roti, dengan malu-malu ia mengambilnya. Kami terus berbagi robekan roti tawar hingga akhirnya seekor pejantan perkasa datang dengan gagah. Ia menakuti monyet betina itu pergi dan menunggu lemparan roti dari kami. Aku yang merasa begitu senang bersemangat langsung mengambil kamera, memasangkan lensa tele dan mendekati monyet-monyet itu untuk mengambil gambarnya. Tanpa takut-takut tetapi waspada aku coba mendekat dan merekam setiap gerak gerik mereka. Entah dari mana sekawanan monyet ini datang, takutnya, karena mereka sedang berburu makanan, kawanan lain akan menghampiri. Well, itu bukan takutnya sihh tapi aku berharap sekawanan lain akan datang.
Tanpa tersadar, mas Paul, mas Shouteng dan Fergie sudah mulai packing kembali. Aku masih sibuk dengan monyet di luar bergegas memasukkan barang-barang ke carrier agar tenda bisa dilipat. Begitu kami lengah dengan barang-barnag kami di luar, para monyet sudah berhasil mendekat. Untung saja aku waspada mengawasi barang di luar dari dalam.
Sekitar pukul 10 kami berangkat meneruskan perjalanan untuk memenuhi ambisi kami. Puncak! Walapun tak dapat melihat mentari bangun dari puncak, tetapi kami tetep bertekad bulat untuk menyelesaikan perjalanan ini. Terlihat beberapa pendaki, berjalan turun dari puncak kearah kami. Well, berbeda dengan di kota, kami semua bertegur sapa setiap berpapasan, seperti semut yang selalu bersalaman menggunakan antenanya ketika berpapasan di jalur yang sama.
Perjalanan ke puncak semakin menantang, batuan-batuan yang besar harus ku panjat sambil memikul beban yang rasanya tak berkurang, walau isinya sudah dimakan pagi ini. Di tambah, teriknya mentari yang membuat badanku berkeringat. Perjalana semakin terjal ketika aku harus mencoba memanjat bebatuan, mempercayakan tanganku sebagai topangan. Tetapi entah mengapa tantangan ini membuatku puas karena berhasil mengujicoba tips-tips rock climbing yang pernah ku tonton di film-film Hollywood.
Yang paling tak terlupakan adalah dinding batu yang harus di lalui dengan cara menempelkan badan ke dinding tersebut. Dengan lebar langkah yang hanya 1 telapak kaki, kami harus extra hati-hati, fokus pada pijakan dan pastiakan tangan menggenggam batuan yang benar. PErlahan-lahan penuh kehati-hatian kami semua bisa melalui dinding batu itu. Darisana, perjalanan tak lagi sulit, cukup landai dan puncak sudah mulai terlihat. Langkah kami semakin cepat, semakin semangat.
Rasa bahagia yang tak terbayangkan memenuhi hati dan fikiranku. Ter-rewind jauh pikiran ini kembali kependakian pertama ke Lawu dan di lanjukan dengan pengalaman mendaki malam hari yang baru terjadi semalam. KuasaNya, bila aku tak pernah menginjakkan kaki di Gunung Lawu, hari ini aku tidak akan berada di puncak Gunung MErbabu. Aku tidak akan bertemu dengan mas Paul, yang tanpa ragu mengajakku mendaki. Aku tidak akan mengenal Fergie dan Mas Shouteng.
Seseorang pernah berkata “ Elemen yang satu akan membawa Elemen yang lainnya.” - Kang Dono-
Puncak Gunung Merbabu sungguh luar biasa. Aku bisa melihat hampir semua gunung yang ada di Jawa Tengah dari setiap sisinya. Yang paling tampak dekat bagaikan selangkah saja adalah Merapi. Aku bisa melihat gunung Lawu tempat pendakian pertamaku yang membawaku ke Puncak Merbabu hari ini. Terlihat juga Sindoro, Sumbing, Andong & Ungaran. Sungguh luar biasa alam Indonesia ini. Bersyukur masih cukup umur dan kuat tenaga untuk menikmatinya.
Foto-foto cukup untuk dokumentasi telah kami lakukan dikedua puncak Merbabu. Kemudian kami mencari tempat yang cukup teduh untuk mengisi perut sebelum melakukan perjalanan turun. Tetapi mataku belum puas memandangi pemandangan spektakuler yang mengelilingiku. Dengan penuh keserasahan aku pandangi benar-benar setiap detail lekuk-lekuk kontur bumi. Mataku belum puas juga, aku bayangkan jika semalam aku bisa menikmati langit, tidur di atas tanah puncak Lawu sambil menikmati miliyaran bintang terpampang di angkasa. Tetapi mengingat kuatnya angin aku hapus bayangan itu.
Siang itu kami coba sebisa mungkin memakan perbekalan kami. Memasak jelly rasa coklat dengan air seadanya, mie instan, sardine kaleng, sayur brokoli dan kol yang diberikan oleh Kepala Desa, tak lupa roti tawar sebagai zat padat yang dimakan bersama sardine. Tak jelas apa makanan yang kami masukkan ke mulut. Tetapi semuanya terasa nikmat. Menyantap makan siang di puncak gunung dengan ketinggian 3145 mdpl bersama sahabat-sahabat yang telah saling mendukung dan melangkah bersama-sama. Disuguhkan pemandangan spektakuler gunung-gunung di Jawa Tengah. What else we could ask for more?
Setelah perut terisi, kami bersantai sejenak, memuaskan hasrat mengambil foto-foto unik. Mulai dari foto dengan memegang pesan cinta, kangen untuk yang tersayang yang di tulis disecarik kertas, hingga foto melompat-lompat berbagai pose degan latar belakang Gunung Merapi.