Monday, June 8, 2015

2 Gunung 3 Hari (Merbabu (Menuju Puncak))

Pagi hari tiba, tubuh yang lelah membuat kami yang berencana melihat mentari terbangun dari peraduanya dari puncak Gunung Merbabu tak dapat membuka mata pada waktunya. Akhirnya sang surya bangun terlebih dahulu, walaupun ketika kami duduk memandang angkasa pagi itu, mentari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya.

Angin masih bertiup, lebih perlahan memang, menyapa tubuhku yang rindu akan hangatnya mentari. Sekarang pemandangan berbeda terhampar di bawah kakiku. Langit bewarna jingga disinari sang mentari. Aku bisa melihat betapa tingginya aku berdiri. Betapa jaunya area yang telah di tempuh semalam tadi.

Warna hijau kekuningan hiasi punggung Gunung Merbabu, bebatuan besar dan pasir-pasir vulkanik menyelimuti area post kami. Aku berbaring di atas batu yang ukuranya lebih besar dari lebar tanganku. Mempersilahkan cahaya dan hangatnya mentari menghangatkan badanku. Tetapi aku tak bisa berlama-lama diam tanpa mendokumentasikan aksi teman-temanku terkesima menatap indahnya mentari. Mendokumentasikan mata hari yang malu-malu keluar dari peraduanya. Tanpa perlu berusaha, semua foto yang aku ambil terlihat indah. Rasa syukur ku panjatkan, alunanya dibawa terbang hembusan angin menuju cakrawala luas.
 
Pagi itu semakin tak terlupakan ketika kami para wanita memutuskan untuk memasak di bawah tiang pemancar. Kami siapkan trangea, roti, mentega, susu kental manis dan susu Milo tak lupa kopi untuk para lelaki. Semuanya berencana untuk sarapan roti bakar pagi ini, dan kita semua memiliki cara berbeda untuk membuat roti bakar. Padahal di kota, membuat roti bakar menjadi hal yang tidak perlu di pikirkan caranya. Mungkin rutinitas sarapanku setiap hari yang membuat aku terheran-heran mengapa membuat roti bakar di atas gunung dengan alat seadanya menjadi lebih menarik.

Memang, kehidupan di kota membuat ku melihat apapun yang terjadi dengan kacamata ‘Ah sudah biasa” sehingga taka ada hal yang membuatku tertarik. Tetapi hanya dengan kegiatan yang begitu simple seperti ini bersama orang-orang yang ku kenal dekat selama perjalan mendaki menjadi hal yang tak terlupakan.

Momen makan roti bakar pagi itu bertambah menarik dengan kehadiran tamu yang tidak di undang., monyeet!!!! Awalnya seekor monyet betina datang menghampiri post kami dengan siaga. Lalu kami lemparkan sobekan roti, dengan malu-malu ia mengambilnya. Kami terus berbagi robekan roti tawar hingga akhirnya seekor pejantan perkasa datang dengan gagah. Ia menakuti monyet betina itu pergi dan menunggu lemparan roti dari kami. Aku yang merasa begitu senang bersemangat langsung mengambil kamera, memasangkan lensa tele dan mendekati monyet-monyet itu untuk mengambil gambarnya. Tanpa takut-takut tetapi waspada aku coba mendekat dan merekam setiap gerak gerik mereka. Entah dari mana sekawanan monyet ini datang, takutnya, karena mereka sedang berburu makanan, kawanan lain akan menghampiri. Well, itu bukan takutnya sihh tapi aku berharap sekawanan lain akan datang.

Tanpa tersadar, mas Paul, mas Shouteng dan Fergie sudah mulai packing kembali. Aku masih sibuk dengan monyet di luar bergegas memasukkan barang-barang ke carrier agar tenda bisa dilipat. Begitu kami lengah dengan barang-barnag kami di luar, para monyet sudah berhasil mendekat. Untung saja aku waspada mengawasi barang di luar dari dalam.

Sekitar pukul 10 kami berangkat meneruskan perjalanan untuk memenuhi ambisi kami. Puncak! Walapun tak dapat melihat mentari bangun dari puncak, tetapi kami tetep bertekad bulat untuk menyelesaikan perjalanan ini. Terlihat beberapa pendaki, berjalan turun dari puncak kearah kami. Well, berbeda dengan di kota, kami semua bertegur sapa setiap berpapasan, seperti semut yang selalu bersalaman menggunakan antenanya ketika berpapasan di jalur yang sama.

Perjalanan ke puncak semakin menantang, batuan-batuan yang besar harus ku panjat sambil memikul beban yang rasanya tak berkurang, walau isinya sudah dimakan pagi ini. Di tambah, teriknya mentari yang membuat badanku berkeringat. Perjalana semakin terjal ketika aku harus mencoba memanjat bebatuan, mempercayakan tanganku sebagai topangan. Tetapi entah mengapa tantangan ini membuatku puas karena berhasil mengujicoba tips-tips rock climbing yang pernah ku tonton di film-film Hollywood.


Yang paling tak terlupakan adalah dinding batu yang harus di lalui dengan cara menempelkan badan ke dinding tersebut. Dengan lebar langkah yang hanya 1 telapak kaki, kami harus extra hati-hati, fokus pada pijakan dan pastiakan tangan menggenggam batuan yang benar. PErlahan-lahan penuh kehati-hatian kami semua bisa melalui dinding batu itu. Darisana, perjalanan tak lagi sulit, cukup landai dan puncak sudah mulai terlihat. Langkah kami semakin cepat, semakin semangat.

Rasa bahagia yang tak terbayangkan memenuhi hati dan fikiranku. Ter-rewind jauh pikiran ini kembali kependakian pertama ke Lawu dan di lanjukan dengan pengalaman mendaki malam hari yang baru terjadi semalam. KuasaNya, bila aku tak pernah menginjakkan kaki di Gunung Lawu, hari ini aku tidak akan berada di puncak Gunung MErbabu. Aku tidak akan bertemu dengan mas Paul, yang tanpa ragu mengajakku mendaki. Aku tidak akan mengenal Fergie dan Mas Shouteng.

Seseorang pernah berkata “ Elemen yang satu akan membawa Elemen yang lainnya.” - Kang Dono-

Puncak Gunung Merbabu sungguh luar biasa. Aku bisa melihat hampir semua gunung yang ada di Jawa Tengah dari setiap sisinya. Yang paling tampak dekat bagaikan selangkah saja adalah Merapi. Aku bisa melihat gunung Lawu tempat pendakian pertamaku yang membawaku ke Puncak Merbabu hari ini.  Terlihat juga Sindoro, Sumbing, Andong & Ungaran. Sungguh luar biasa alam Indonesia ini. Bersyukur masih cukup umur dan kuat tenaga untuk menikmatinya.

Foto-foto cukup untuk dokumentasi telah kami lakukan dikedua puncak Merbabu. Kemudian kami mencari tempat yang cukup teduh untuk mengisi perut sebelum melakukan perjalanan turun. Tetapi mataku belum puas memandangi pemandangan spektakuler yang mengelilingiku. Dengan penuh keserasahan aku pandangi benar-benar setiap detail lekuk-lekuk kontur bumi. Mataku belum puas juga, aku bayangkan jika semalam aku bisa menikmati langit, tidur di atas tanah puncak Lawu sambil menikmati miliyaran bintang terpampang di angkasa. Tetapi mengingat kuatnya angin aku hapus bayangan itu.

Siang itu kami coba sebisa mungkin memakan perbekalan kami. Memasak jelly rasa coklat dengan air seadanya, mie instan, sardine kaleng, sayur brokoli dan kol yang diberikan oleh Kepala Desa, tak lupa roti tawar sebagai zat padat yang dimakan bersama sardine. Tak jelas apa makanan yang kami masukkan ke mulut. Tetapi semuanya terasa nikmat. Menyantap makan siang di puncak gunung dengan ketinggian 3145 mdpl bersama sahabat-sahabat yang telah saling mendukung dan melangkah bersama-sama. Disuguhkan pemandangan spektakuler gunung-gunung di Jawa Tengah. What else we could ask for more?

Setelah perut terisi, kami bersantai sejenak, memuaskan hasrat mengambil foto-foto unik. Mulai dari foto dengan memegang pesan cinta, kangen untuk yang tersayang yang di tulis disecarik kertas, hingga foto melompat-lompat berbagai pose degan latar belakang Gunung Merapi.








Sunday, June 7, 2015

Pendakian ke 2: 2 Gunung 3 Hari (Merbabu- Naik)

(19/05/15) Sesampainya di camp Mawar sekitar pukul 11.30 siang perut lapar kami mencari nasi. Untungnya para penunggu Camp Mawar, sudah ada yang memasak nasi plus mie, jadi siang ini itulah menu makanan kami. Aku sebenarnya mulai lelah memakan mie, tapi pelajaran untuk bersyukur dengan apapun kenikmatan yang ada, itulah salahsatu pelajaran terpenting untuk ku dari perjalanan lintas alam. 

Dengan pikiran penuh semangat, aku berasumsi sehabis makan kita berempat (aku, Fergie, Mas Shouteng dan Mas Paul) akan bergegas menuju basecamp Merbabu di desa Cuntel. Asumsik, kita akan mulai menanjak sebelum matahari terbenam. Ternyata salah, aku melihat Fergie yang sudah lebih dulu mandi dan mengikuti langkahnya untuk mandi, siang itu terasa santai dan lambat bagi aku yang ingin segera memulai pendakian berikutnya. 

Sekitar pukul 2.30 mobil charteran kami tiba. Segera kami masukkan segala barang tanpa di pack terlebih dahulu. Rencananya, kami akan membeli logistik seperti: spiritus, air dan makanan instan sebelum sampai di Basecamp Gunung Merbabu. Perjalanan kira-kira 2 jam, aku yang semalam di puncak Ungaran tak dapat tidur nyenyak, langsung hilang di telan bunyi suara mobil. Sempat sedikit aku menikmati pemandangan pedesaan Ungaran, tetapi setelah itu aku tak tahu.

Hampir sampai di basecamp, kami berhenti di Indomart untuk membeli logistic. Seperti menemani anak-anak yang akan pergi piknik, entah kenapa Mas Paul yang aku anggap ahli dalam urusan pendakian, menanyakan setiap makanan yang perlu dibeli kepadaku. Padahal, aku tidak tahu seberat apa medan di sana dan apa saja yang harus di bawa?  Akhirnya aku pasrahkan pada mereka mau membeli apa.

Sesampainya di desa Cuntel, pintu basecamp di kunci dan tak ada yang menjawab nomor telepon yang tertempel di temboknya. Setelah mencoba menelepon beberapa teman Mas Paul, datanglah seorang lelaki yang menunjukkan jalan menuju rumah kepala desa. Di sana kami disambut dengan hangat. Tak lebih-lebih akupun diajak berbahasa Jawa. Hanya senyuman yang bisa ku berikan hingga akhirnya Mas Paul menjelaskan kepada Pak Kades bahwa aku dari Jakarta (dalam bahasa jawa :o).

Wajah kami yang masih penuh tekad dan
fresh setelah mandi :D
Senyum lebar masih menghiasi wajah
begitupun semangat 45



Kami disajikan nasi dan lauk secukupnya. "Setidaknya kali ini bukan mie." fikirku. Lalu tanpa menghabiskan banyak waktu kami memulai packing dan memasukkan semua makanan ke dalam tas. Para wanita bertugas membawa persediaan makanan, spiritus dan air. Sedangkan para lelaki membawa perbekalan tenda, sleeping bag dan fly sheet.

Sang Surya mengucapkan salam perpisahan kepada kami 
Sekitar pukul 5 kurang kami berpamitan kepada Pak Kades dan beberapa orang di desa Cuntel lalu berjalan penuh semangat menuju puncak. Perjalana kami memasuki hutan bagaikan mendapatkan salam perpisahan dari sang surya, yang melambat penuh keagungan kembali keperaduan. Langit bewarna jingga menghiasi lukisan pedesaan yang kini mulai menjauh. Subhanalla indahnya, kedua kalinya aku tertegun dengan sunset di pegunungan.

Pendakian ini akan dihiasi banyak bintang, diselimuti gelapnya malam dan diiringi oleh hewan-hewan malam yang sedang mencari mangsa. Aku sangat bersemangat dan agak waspada untuk mendaki malam hari. Oksigen akan lebih tipis dibandingkan siang, karena pepohonan mulai menghirup oksigen untuk bertahan hidup. Tanah mulai lembab oleh kabut dan pandangan terbatas. 

Selama perjalanan kami tak banyak bicara. Nafasku terengah-engah, Fergie mulai keram perut. Hanya para 2 lelaki gunung itu yang bisa mendaki sambil menghisap rokok (aku sungguh takjub). 

Mas Shouteng memimpin perjalanan, aku berusaha mengikuti pace-nya w
alau terkadang aku berhenti. Langkah semakin tak menentu, terkadang badanku mulai miring seperti ingin terjatuh. Sering kali kaki ini salah melangkah yang membuatku hampir tersandung. Hasutan-hasutan ego mulai kencang terdengar "ngapain sih capek-capek naik gunung gini? di atas juga gada apa-apa. Mending duduk-duduk santai aja gak usah ke atas". Tetapi semua fikiran itu tertepis setiap kali kami melewati daerah tanpa pepohonan dan kami bisa melihat hamparan lampu pedesaan tampak seperti bintang di bumi. Jauh, kecil, bercahaya indahnya. Seketika rasa lelahpun hilang, tenaga kembali ada ditubuhku. Kita pun memulai perjalanan untuk melangkah lebih jauh.

Perjalanan mendaki malam pertamaku. Setiap langkah yang entah mengapa terasa lebih berat. Apa mungkin karena tubuhku sudah hampir melewati batas kekuatanya karena baru saja aku menuruni satu gunung? Tapi tekadku berhasil mengalahkan rasa lelah ditubuhku. Dengan sedikit tertatih karena jempol kaki yang sudah kapalan (oleh-oleh ungaran) aku melangkah. Semakin keatas jalan semakin menantang, pepohonan mulai hilang, jalan berbatu, dipenuhi pasir vulkanik dan kami semua harus sedikit memanjat bebatuan. Situasi dimana tak banyak yang mata ini bisa lihat membuat kegiatan pendakian malam ini semakin menantang. Begitu lelah menyerang aku hanya butuh menegadahkan kepala ke atas dan menikmati hamparan bintang sembari menarik nafas dalam. Berucap syukur akan keindahan alam yang di ciptakan Sang Maha Kuasa. Sedikit tertetes air mata di pipiku sembari mengucapkan rasa syukur. Tiba-tiba tercium bau wangian bunga melati. Respon sepontanku mencium wewangian seperti itu adalah menanyakan kepada yang lain apakah mereka mencium hal yang sama atau tidak. Tapi mas Shouteng di depanku hanya terdiam begitu juga dengan Fergie dan Mas Paul. Dan aku mengerti bau itu adalah apa. Untuk menghilangkan rasa merindingku, berbisik aku berkata "Assalamualaikum, numpang lewat yaaa dan salam kenal." Seketika bau itu hilang.

Mas Shouteng, terus menyemangati kami yang mulai lelah mendaki. "Ayo sedikit lagi Post menara! Itu udah terlihat?" katanya memecah keheningan.

"Mana? Aku gak ngeliat mas?" Jawabku kotan

"Itu lhhoo masa gak kliaaatan?" Kata Mas Paul dari bawah sambil menunjuk ke langit penuh  bintang.

Terus saja aku mencari-cari di mana menara telpon yang akan menjadi tempat kami bermalam. Lelah mencari, aku memulai melangkah lagi. Tak terasa setelah berhenti menarik napas setiap 5 langkah, berbisik menyemangati diri sendiri bahwa akan ada sesuatu yang indah di atas sana. Tak lupa berdoa pada Yang Maha Mengetahui untuk terus melancarkan perjalanan ini dan berikan aku terus kekuatan, akhirnya kami sampai di Post Menara. Penuh semangat dengan kaki dan Carrier yang terasa 2x lebih berat jika dibandingkan saat aku mulai mendaki, aku berlari kecil dan melompat-lompat kecil. Senyum lebar tak hilang dari pipiku, melihat ke atas lautan bintang ciptaan Sang Maha Kuasa. Melihat ke bawah, hamparan lampu-lampu ciptaan manusia.

Pikiranku kembali ke tanah ketika angin bertiup kencang membawa rasa dingin yang membuatku bagaikan membeku. Lalu aku mengikuti teman-temanku pergi ke dalam bangunan kecil di samping menara untuk membangun tenda dan mulai memasak makanan hangat. 

Ketika unloading barang-barangku untuk memngeluarkan makanan untuk dimasak, aku tersadar jaket ku hilang. Atau tidak sengaja aku meminggalkanya ketika kita semua beristirahat di post dua. Jaket satu-satunya yang aku harap bisa menghangatkan badan selama bermalam di sini. 

"Ya... mba, kalo mau turun ke post 2 kayaknya jauh banget.." Kata Mas Paul penuh ke khawatiran.
Berusaha agar tetap tenang aku memberikan senyum lebar dan menjawab dengan ceria " Its Ok mas, Aku ada baju lengan panjang kok bisa di pake double biar anget. Nanti tinggal pake SB aja biar tambah anget."

"Ini Pake jaket aku aja." Kata Mas Shouteng sambil memberikan jaket polar nya. 

"Makasih mas, gak usah gak papa." Tetapi tanganku tak bisa menolak. hehe :D

Setelah perut terisi hangatnya milo dan mie rebus yang airnya cepat hilang terserap oleh mie-nya sendiri atau membeku karena dinginya angin. Entahlah. Aku mengikuti mas Shouteng yang berjalan di sekitaran area menara. Angin dingin menembuts jaket tebal yang dipinjamkan Mas Shouteng. Aku membawa kameraku dan berharap dengan alat seadanya aku bisa mendokumentasikan langit yang di penuhi bintang-bintang. 

Mungkin foto ini secara tehnik fotografi tidak sempurna.
Tetapi proses mendapat ketidaksempurnaan ini,
begitu sempurna dan takkan pernah terlupakan.
(Alat Terbatas ;p )
Kondisi angin begitu menantang. Entah mengapa setiap kali angin itu berhembus kekuatanya semakin kencang. Sepatuku tak terikat sempurna, celanaku basah oleh keringat pendakian, bahkan jaket yang dipinjamkan Mas Shouteng pun tertembus oleh angin Gunung Merbabu yang datang berhembus tanpa jeda. Padahal, untuk dapat memfoto bintang di angkasa aku harus men-set kameraku di BLUB dan menekan tombol capture kurang lebih 3 menit tanpa ada gerakan sedikit pun. Berhubung alat terbatas, tripo tak dibawa, button extension tidak punya. Ya sudah sekuat tenaga aku menahan nafas, menaha diri agar tidak gemetar. Percobaan pertama dan kedua gagal total, aku bisa melihat bintang tetapi buram. Akhirnya aku membaca bismillah dan berdoa kepada yang Maha Kuasa. "Ya Allah, mohon hentikan sejenak angin ciptaanMu agar hambaMu bisa mendokumentasikan keindahan langitMU. Bismillah." Dan keajaiban Ilahi terjadi. Angin berhenti di hembuskan selama 3 menit. Aku menghitung maju dari 1 hingga 120. Begitu tombol capture aku lepaskan angin kembali. Subhanallah, nikmat Allah yang mana lagi yang harus ku dustakan. Mataku pun Mulai berkaca-kaca. 


Nikmati foto-foto perjalanan kami disini 


Friday, June 5, 2015

Pendakian ke 2: 2 Gunung 3 Hari (Gunung Ungaran)

Setelah menginjakkan kaki kembali ke basecam Cemoro Sewu Maret lalu, fikiranku melayang untuk membuat perjalanan mendaki selanjutnya. JIka, saat pendakian pertama dilakukan bersama team travel Go Climb, sekarang aku berencana untuk melakukan perjalanan independen.

Semua jalan dipermudah, sampai pada akhirnya aku sudah duduk manis di kereta malam menuju Semarang (sabtu 16/05/15). Pendakian akan dimulai pada hari Senin pagi. Destinasi pertamaku adalah Gunung Ungaran sebagai pemanasan. Lalu di lanjutkan ke Gunung Merbabu.

Senin, 18/02/15 sekitar pukul 10 pagi aku dan ke 3 temanku memulai pendakian. Jalan yang cenderung landai sampai melewati perkebunan kopi sangat memudahkan kami semua. Baru saja memulai langkah, alam telah memberikan kenikmatan dengan mataairnya yang menyegarkan. Rimbunnya pepohonan sebelum memasuki kawasan kebun kopi, melindungi kami dari teriknya matahari siang. Perjalanan santai dan penuh percakapan untuk saling mengenal satu sama lain.

Kami ber 4 bukan teman dekat. 2 dari kami di pertemukan di Gunung Lawu, dan pertemanan berlanjut hingga akhirnya kami merencanakan perjalanan ini. Lalu temanku ini yang bernama Mas Paul, membawa 2 temanya lagi Fergie dan mas Shouteng. Di perjalanan menuju puncak ungaran inilah kami belajar untuk mengenal satu sama lain. Awalnya aku mengalami sedikit kendala, karena mereka bertiga yang berbahasa Jawa, jarang sekali memakai bahasa Indonesia. Namun itu tak menjadi alasan untuk ku mengenali kepribadian mereka.


Hamparan keindahan alam di bawah kaki kami
Pemandangan yang terbentang di bawah kaki kami selama menanjak luar biasa. Semakin tinggi kaki kami melangkah, semakin indah pemandangan yang terhampar luas. Mulai dari perkebunan teh dan kopi yang rapih, perkotaan di kaki gunung hingga awan biru bersih yang spektakuler menambah kesan lukisan dari pemandangan yang berhasil membuat ku tertegun dan berucap Subhanallah tanpa sadar.

Hampir menuju puncak, perjalanan mulai sedikit menantang. Bebatuan yang harus dipanjat dengan sedikit usaha. Entah mengapa aku suka bagian ini. Melelahkan memang, tapi memanjat membuat adrenalin ku terpacu dan menetukan batu mana yang harus dipijak memberikan keashikan sendiri.

Siang hari kami tiba di puncak Ungaran. Hamparan luas 360* derajat bisa dinikmati. Berhubung perut kami lapar, langsung saja tanpa berlama-lama kami dirikan tenda di kawasan hutan dekat puncak lalu memasak. Perjalanan gunung kali ini berbeda dengan sebelumnya. Dimana Lawu terdapat Warung Mbo Yem sehingga tidak perlu khawatir logistic. Di sini kita harus membawa semuanya dari bawah.

Seperti akan tinggal di gunung 1 minggu, persediaan logistik yang dibawa cukup banyak. Ya, bisa di tebak: mie instan, beras, sardine, roti, bubur instan, kopi, susu. Setelah makan, matapun menjadi lelah. Dan aku mencuri waktu untuk tidur siang.


Photo by the couple (Paul & Fergie)
Aku terbangun oleh suara semangat dari Mas Paul dan Fergie yang mengajaku melihat sunset di puncak Ungaran 2050 mdpl. Kamera ku sudah lenyap dari tas berpindah ke tangan mereka. Awalnya aku kira keindahan sunset hanya bisa dinikmati di pantai. Tetapi, ternyata di puncak gunung sunset memilik warna sendiri dan itu me
nakjubkan. Lagi-lagi sebuah Maha Karya Sang Pencipta.

Malampun tiba, tak banyak yang bisa dilakukan selain memasak, bersenda gurau di sekitar api unggun menghangatkan badan. Ikatan kami semakin erat. Mas Shouten yang awalnya tak banyak kata denganku mulai membuat candaan. Salah satunya candaan ketika aku menunjukkan muka cengok ketika mereka bercanda dalam bahasa Jawa.

Esok paginya, sekitar pukul setengah 6 kami bangun, langit sudah terang. Aku fikir kita terlewat momen sunrise, tetapi langit yang terang masih menyembunyikan matahari yang ternyata keluar malu-malu. Pemandangan yang tidak kalah spektakuler ketika sang mentari keluar dengan penuh keagungan. Aku yang biasanya cerewet, kehilangan kata-kata. tak ada yang lain di benak dan hatiku selain Yang Maha Kuasa. Mata ku mulai berkaca-kaca memberikan salute  kepada Pencipta Alam Semesta. Berterimakasih karena tubuhku masih 
diberikan izin untuk melihat ciptaan Nya.

Perjalanan turun tidak seberapa sulit dan lebih cepat. Tetapi entah kenapa aku lebih suka naik. Membayangkan langkah turun perlahan dan menjauhi puncak dimana sebuah kepuasan yang aku temukan terletak karena merasa ada di dekat Nya membuat ku sedih. Tetapi memandang ke depan, bahwa masih ada satu gunung lagi yang harus di tempuh sore ini membuatku semangat untuk menuruni gunung Ungaran kembali ke camp Mawar.