Dengan pikiran penuh semangat, aku berasumsi sehabis makan kita berempat (aku, Fergie, Mas Shouteng dan Mas Paul) akan bergegas menuju basecamp Merbabu di desa Cuntel. Asumsik, kita akan mulai menanjak sebelum matahari terbenam. Ternyata salah, aku melihat Fergie yang sudah lebih dulu mandi dan mengikuti langkahnya untuk mandi, siang itu terasa santai dan lambat bagi aku yang ingin segera memulai pendakian berikutnya.
Sekitar pukul 2.30 mobil charteran kami tiba. Segera kami masukkan segala barang tanpa di pack terlebih dahulu. Rencananya, kami akan membeli logistik seperti: spiritus, air dan makanan instan sebelum sampai di Basecamp Gunung Merbabu. Perjalanan kira-kira 2 jam, aku yang semalam di puncak Ungaran tak dapat tidur nyenyak, langsung hilang di telan bunyi suara mobil. Sempat sedikit aku menikmati pemandangan pedesaan Ungaran, tetapi setelah itu aku tak tahu.
Hampir sampai di basecamp, kami berhenti di Indomart untuk membeli logistic. Seperti menemani anak-anak yang akan pergi piknik, entah kenapa Mas Paul yang aku anggap ahli dalam urusan pendakian, menanyakan setiap makanan yang perlu dibeli kepadaku. Padahal, aku tidak tahu seberat apa medan di sana dan apa saja yang harus di bawa? Akhirnya aku pasrahkan pada mereka mau membeli apa.
Sesampainya di desa Cuntel, pintu basecamp di kunci dan tak ada yang menjawab nomor telepon yang tertempel di temboknya. Setelah mencoba menelepon beberapa teman Mas Paul, datanglah seorang lelaki yang menunjukkan jalan menuju rumah kepala desa. Di sana kami disambut dengan hangat. Tak lebih-lebih akupun diajak berbahasa Jawa. Hanya senyuman yang bisa ku berikan hingga akhirnya Mas Paul menjelaskan kepada Pak Kades bahwa aku dari Jakarta (dalam bahasa jawa :o).
Wajah kami yang masih penuh tekad dan fresh setelah mandi :D |
Senyum lebar masih menghiasi wajah begitupun semangat 45 |
Kami disajikan nasi dan lauk secukupnya. "Setidaknya kali ini bukan mie." fikirku. Lalu tanpa menghabiskan banyak waktu kami memulai packing dan memasukkan semua makanan ke dalam tas. Para wanita bertugas membawa persediaan makanan, spiritus dan air. Sedangkan para lelaki membawa perbekalan tenda, sleeping bag dan fly sheet.
Sang Surya mengucapkan salam perpisahan kepada kami |
Pendakian ini akan dihiasi banyak bintang, diselimuti gelapnya malam dan diiringi oleh hewan-hewan malam yang sedang mencari mangsa. Aku sangat bersemangat dan agak waspada untuk mendaki malam hari. Oksigen akan lebih tipis dibandingkan siang, karena pepohonan mulai menghirup oksigen untuk bertahan hidup. Tanah mulai lembab oleh kabut dan pandangan terbatas.
Selama perjalanan kami tak banyak bicara. Nafasku terengah-engah, Fergie mulai keram perut. Hanya para 2 lelaki gunung itu yang bisa mendaki sambil menghisap rokok (aku sungguh takjub).
Mas Shouteng memimpin perjalanan, aku berusaha mengikuti pace-nya w
alau terkadang aku berhenti. Langkah semakin tak menentu, terkadang badanku mulai miring seperti ingin terjatuh. Sering kali kaki ini salah melangkah yang membuatku hampir tersandung. Hasutan-hasutan ego mulai kencang terdengar "ngapain sih capek-capek naik gunung gini? di atas juga gada apa-apa. Mending duduk-duduk santai aja gak usah ke atas". Tetapi semua fikiran itu tertepis setiap kali kami melewati daerah tanpa pepohonan dan kami bisa melihat hamparan lampu pedesaan tampak seperti bintang di bumi. Jauh, kecil, bercahaya indahnya. Seketika rasa lelahpun hilang, tenaga kembali ada ditubuhku. Kita pun memulai perjalanan untuk melangkah lebih jauh.
Perjalanan mendaki malam pertamaku. Setiap langkah yang entah mengapa terasa lebih berat. Apa mungkin karena tubuhku sudah hampir melewati batas kekuatanya karena baru saja aku menuruni satu gunung? Tapi tekadku berhasil mengalahkan rasa lelah ditubuhku. Dengan sedikit tertatih karena jempol kaki yang sudah kapalan (oleh-oleh ungaran) aku melangkah. Semakin keatas jalan semakin menantang, pepohonan mulai hilang, jalan berbatu, dipenuhi pasir vulkanik dan kami semua harus sedikit memanjat bebatuan. Situasi dimana tak banyak yang mata ini bisa lihat membuat kegiatan pendakian malam ini semakin menantang. Begitu lelah menyerang aku hanya butuh menegadahkan kepala ke atas dan menikmati hamparan bintang sembari menarik nafas dalam. Berucap syukur akan keindahan alam yang di ciptakan Sang Maha Kuasa. Sedikit tertetes air mata di pipiku sembari mengucapkan rasa syukur. Tiba-tiba tercium bau wangian bunga melati. Respon sepontanku mencium wewangian seperti itu adalah menanyakan kepada yang lain apakah mereka mencium hal yang sama atau tidak. Tapi mas Shouteng di depanku hanya terdiam begitu juga dengan Fergie dan Mas Paul. Dan aku mengerti bau itu adalah apa. Untuk menghilangkan rasa merindingku, berbisik aku berkata "Assalamualaikum, numpang lewat yaaa dan salam kenal." Seketika bau itu hilang.
Mas Shouteng, terus menyemangati kami yang mulai lelah mendaki. "Ayo sedikit lagi Post menara! Itu udah terlihat?" katanya memecah keheningan.
"Mana? Aku gak ngeliat mas?" Jawabku kotan
"Itu lhhoo masa gak kliaaatan?" Kata Mas Paul dari bawah sambil menunjuk ke langit penuh bintang.
Terus saja aku mencari-cari di mana menara telpon yang akan menjadi tempat kami bermalam. Lelah mencari, aku memulai melangkah lagi. Tak terasa setelah berhenti menarik napas setiap 5 langkah, berbisik menyemangati diri sendiri bahwa akan ada sesuatu yang indah di atas sana. Tak lupa berdoa pada Yang Maha Mengetahui untuk terus melancarkan perjalanan ini dan berikan aku terus kekuatan, akhirnya kami sampai di Post Menara. Penuh semangat dengan kaki dan Carrier yang terasa 2x lebih berat jika dibandingkan saat aku mulai mendaki, aku berlari kecil dan melompat-lompat kecil. Senyum lebar tak hilang dari pipiku, melihat ke atas lautan bintang ciptaan Sang Maha Kuasa. Melihat ke bawah, hamparan lampu-lampu ciptaan manusia.
Pikiranku kembali ke tanah ketika angin bertiup kencang membawa rasa dingin yang membuatku bagaikan membeku. Lalu aku mengikuti teman-temanku pergi ke dalam bangunan kecil di samping menara untuk membangun tenda dan mulai memasak makanan hangat.
Ketika unloading barang-barangku untuk memngeluarkan makanan untuk dimasak, aku tersadar jaket ku hilang. Atau tidak sengaja aku meminggalkanya ketika kita semua beristirahat di post dua. Jaket satu-satunya yang aku harap bisa menghangatkan badan selama bermalam di sini.
"Ya... mba, kalo mau turun ke post 2 kayaknya jauh banget.." Kata Mas Paul penuh ke khawatiran.
Berusaha agar tetap tenang aku memberikan senyum lebar dan menjawab dengan ceria " Its Ok mas, Aku ada baju lengan panjang kok bisa di pake double biar anget. Nanti tinggal pake SB aja biar tambah anget."
"Ini Pake jaket aku aja." Kata Mas Shouteng sambil memberikan jaket polar nya.
"Makasih mas, gak usah gak papa." Tetapi tanganku tak bisa menolak. hehe :D
Setelah perut terisi hangatnya milo dan mie rebus yang airnya cepat hilang terserap oleh mie-nya sendiri atau membeku karena dinginya angin. Entahlah. Aku mengikuti mas Shouteng yang berjalan di sekitaran area menara. Angin dingin menembuts jaket tebal yang dipinjamkan Mas Shouteng. Aku membawa kameraku dan berharap dengan alat seadanya aku bisa mendokumentasikan langit yang di penuhi bintang-bintang.
Mungkin foto ini secara tehnik fotografi tidak sempurna. Tetapi proses mendapat ketidaksempurnaan ini, begitu sempurna dan takkan pernah terlupakan. (Alat Terbatas ;p ) |
Nikmati foto-foto perjalanan kami disini
No comments:
Post a Comment