Semua jalan dipermudah, sampai pada akhirnya aku sudah duduk manis di kereta malam menuju Semarang (sabtu 16/05/15). Pendakian akan dimulai pada hari Senin pagi. Destinasi pertamaku adalah Gunung Ungaran sebagai pemanasan. Lalu di lanjutkan ke Gunung Merbabu.
Senin, 18/02/15 sekitar pukul 10 pagi aku dan ke 3 temanku memulai pendakian. Jalan yang cenderung landai sampai melewati perkebunan kopi sangat memudahkan kami semua. Baru saja memulai langkah, alam telah memberikan kenikmatan dengan mataairnya yang menyegarkan. Rimbunnya pepohonan sebelum memasuki kawasan kebun kopi, melindungi kami dari teriknya matahari siang. Perjalanan santai dan penuh percakapan untuk saling mengenal satu sama lain.
Kami ber 4 bukan teman dekat. 2 dari kami di pertemukan di Gunung Lawu, dan pertemanan berlanjut hingga akhirnya kami merencanakan perjalanan ini. Lalu temanku ini yang bernama Mas Paul, membawa 2 temanya lagi Fergie dan mas Shouteng. Di perjalanan menuju puncak ungaran inilah kami belajar untuk mengenal satu sama lain. Awalnya aku mengalami sedikit kendala, karena mereka bertiga yang berbahasa Jawa, jarang sekali memakai bahasa Indonesia. Namun itu tak menjadi alasan untuk ku mengenali kepribadian mereka.
Hamparan keindahan alam di bawah kaki kami |
Hampir menuju puncak, perjalanan mulai sedikit menantang. Bebatuan yang harus dipanjat dengan sedikit usaha. Entah mengapa aku suka bagian ini. Melelahkan memang, tapi memanjat membuat adrenalin ku terpacu dan menetukan batu mana yang harus dipijak memberikan keashikan sendiri.
Siang hari kami tiba di puncak Ungaran. Hamparan luas 360* derajat bisa dinikmati. Berhubung perut kami lapar, langsung saja tanpa berlama-lama kami dirikan tenda di kawasan hutan dekat puncak lalu memasak. Perjalanan gunung kali ini berbeda dengan sebelumnya. Dimana Lawu terdapat Warung Mbo Yem sehingga tidak perlu khawatir logistic. Di sini kita harus membawa semuanya dari bawah.
Seperti akan tinggal di gunung 1 minggu, persediaan logistik yang dibawa cukup banyak. Ya, bisa di tebak: mie instan, beras, sardine, roti, bubur instan, kopi, susu. Setelah makan, matapun menjadi lelah. Dan aku mencuri waktu untuk tidur siang.
Photo by the couple (Paul & Fergie) |
nakjubkan. Lagi-lagi sebuah Maha Karya Sang Pencipta.
Malampun tiba, tak banyak yang bisa dilakukan selain memasak, bersenda gurau di sekitar api unggun menghangatkan badan. Ikatan kami semakin erat. Mas Shouten yang awalnya tak banyak kata denganku mulai membuat candaan. Salah satunya candaan ketika aku menunjukkan muka cengok ketika mereka bercanda dalam bahasa Jawa.
Esok paginya, sekitar pukul setengah 6 kami bangun, langit sudah terang. Aku fikir kita terlewat momen sunrise, tetapi langit yang terang masih menyembunyikan matahari yang ternyata keluar malu-malu. Pemandangan yang tidak kalah spektakuler ketika sang mentari keluar dengan penuh keagungan. Aku yang biasanya cerewet, kehilangan kata-kata. tak ada yang lain di benak dan hatiku selain Yang Maha Kuasa. Mata ku mulai berkaca-kaca memberikan salute kepada Pencipta Alam Semesta. Berterimakasih karena tubuhku masih
diberikan izin untuk melihat ciptaan Nya.
Perjalanan turun tidak seberapa sulit dan lebih cepat. Tetapi entah kenapa aku lebih suka naik. Membayangkan langkah turun perlahan dan menjauhi puncak dimana sebuah kepuasan yang aku temukan terletak karena merasa ada di dekat Nya membuat ku sedih. Tetapi memandang ke depan, bahwa masih ada satu gunung lagi yang harus di tempuh sore ini membuatku semangat untuk menuruni gunung Ungaran kembali ke camp Mawar.
No comments:
Post a Comment