Tuesday, September 29, 2015

Dream Adventure - Berangkat!

Tak habis dimakan waktu, pendakian terakhir (mungkin) untuk tahun ini adalah mendaki Puncak Mahameru belum bisa hilang dari ingatan. Perjalanan yang dilaksanakan atas undangan seorang senior dari Grobogan dengan niatan observasi cara menginspirasi remaja dengan mendaki aku terima. Awalnya tujuan gunung yang akan didaki masih berganti-ganti dikarenakan berita-berita gunung yang dituju ditutup sementara. Pada akhirnya tujuan semula mendaki Semeru terjadi.

Perjalanan kali ini pastinya berbeda, dengan gunung tertinggi di pulau Jawa, medan yang baru bersama orang-orang yang baru. Pendakian ini juga merupakan pendakian pertama ku dengan pasangan. Padahal tadinya aku paling anti untuk melakukan pendakian dengan pasangan, karena takut akan banyak larangan atau malah repot mengurus pasangan. Tapi aku yakin, pasanganku ini tidak akan melakukan hal itu karena jam terbangnya mendaki jauh lebih banyak dariku.

Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Sidoarjo dengan menggunakan kereta ekonimi. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 15 jam. Aku sudah bangun dan tertidur berkali-kali. Dari semangat membara membicarakan tentang pengalaman akangku mendaki atau survival di alam hingga bernyanyi-nyayi sudah kami lakukan berdua. Tapi perjalan beru setengah dari tujuan akhir.

Di Sidoarjo rencananya kami berdua (aku dan akangku) akan bersinggah sebentar bersilaturahim dengan sensei Iaijutsu (seni pedang jepang) dan belajar traditional archery. Kira-kira pukul 12 malam kami tiba di Sidoarjo di jemput oleh sensei Kenji dan menujuru rumahnya. 

Keesokan paginya setelah kami bangun dan sekedar mencuci muka, sensei mengajarkan tentang apa itu Traditional archery, mulai dari memilih batu untuk dijadikan mata panah hingga belajar memanah dengan jarak 5 meter. Sebuah pengalaman menarik, seni yang benar-benar menuntut feeling dan perlu banyak latihan agar bisa mengenai sasaran. Singkat cerita selama 1 jam terus menerus latihan memanah, aku beberapa kali berhasi mengenai target dan grouping. Cukup memuaskan. Mau belajar lebih lanjut lihat youtube-nya aja disini

Hari berganti sore, kami pun diantar sensei menuju terminal bus untuk menaiki bus tujuan Malang. Ini merupakan trip pertamaku dengan benar-benar hanya bermodal informasi. Kami berdua belum pernah ada yang menaiki bus dari Sidoarjo menuju Malang, atau melanjutkan dari Malang naik angkot ke Pasar Tumpang. Well, Im glad I didn't do the trip all by my self. Dengan membawa carrier dan snack selama di bus, kami memulai perjalanan ke Malang dengan mata tertutup setelah bus mulai berjalan 15 menit.

Setibanya di Malang, kami terbangun dan suasana kota berubah, banyak sekali hotel-hotel dan pusat perbelanjaan. Udara sedikit lebih sejuk dibandingkan dengan Sidoarjo. Sedikit disorientasi karena saat mata kami tertutup mentari masih bercahaya dan begitu kami tiba malam telah tiba. Turun dari bus, mencari angkot menuju Pasar Tumpang membuat kami berputar-putar diterminal bus. Tak kalah dengan terminal bus di Sidoarjo yang sangat tertata dan nyaman, di Malang juga demikian, tak terlalu sulit menemukan angkot yang akan kami tumpangi hingga Pasar Tumpang, karena carrier kami yang sudah menjadi lambang pendaki menuju Semeru.

Karena sepi penumpang malam itu, supir angkot meminta kami menunggu hingga setidaknya ada pendaki lain yang datang. Kamipun sempat makan malam nasi rawon. Perjalanan terminal Malang ke Tumpang tak memakan waktu banyak. Jalanan yang muali sepi membuat angkot melaju cukup kencang.

Udara mulai terasa lebih sejuk di Pasar Tumpang, kami berhenti di basecamp mobil Jeep yang akan membawa kami ke basecamp Semeru. Oleh pengelolah yang baik hati kami ditawari pilihan untuk bermalam atau langsung diantar ke basecamp Semeru sekalian beliau jalan pulang. Awalnya kami ragu-ragu karena 90% rombongan kami masih di Surabaya dan baru ke Pasar Tumpang esok hari. Tetapi pertimbangan harga yang lebih murah, dan tidak mau menghabiskan waktu, kamipun memutuskan pergi ke basecamp setelah melengkapi logistic kami. Beruhubung headlampku hilang diperjalanan akangku Ekspedisi Sriwijaya bersama anak-anak Labschool, aku harus mencari toko yang menjual headlamp tengah malam. Untukng saja tak jauh dari camp Jeep terdapa toko outdoor yang masih buka. Dengan dipinjamkan motor salahsatu mas penunggu camp kami melengkapi logistic seperlunya.

Hampir pukul 3 kami tiba di basecamp Semeru (Ranu Pane), karena perjalanan cukup panjang akupun terjatuh ketika melangkah turund dari Jeep. Untung saja mukaku yang memerah karena malu tertutupi gelapnya malam. Dari tempat drop off Jeep kami berjalan sekitar 200m berkumpul dengan para pendaki lainya. Perut kami yang lapar dikalahkan oleh rasa kantuk yang sudah menyelimuti. 

Aku yang bertugas membawa tenda dari Jakarta terkejut melihat kondisi tendaku yang sama sekali tidak layak. Tenda yang sudah hampir bolong didiberapa tempat karena terciprat cat dan tidak terlalu tahan air membuatku was was akan udara yang akan dihadapi nanti di Ranu Kumbolo yang menurut update di FB bisa bersuhu minus 5 derajat. Akangku hanya membawa flysheet, tapi mudah-mudahan itu sudah cukup membantu.

Lalu masalah kembali datang, ketika uji coba pertama menggunakan sleeping bag yang baru saja ku beli di Ace Hardware sama sekali tidak membantu melindungiku dari terpaan suhu yang cukup dingin. Dan ingatanku kembali ke minus 5 derajat yang akan di rasakan di Ranu Kumbolo. Berbekal sarung tangan tracking yang tidak bergaransi menghangatkan, jaket baru hadiah akangku, kaos kaki 2 lapis dan kupluk aku berusaha tidur.

Pagipun tiba sangat lambat. Kami berhasil tidur jam 4 pagi dan setengah 6 sudah terbangun oleh suara-suara pendaki yang mulai mengepak barang-barang bawaanya. Banyakan dari mereka sudah menyelesaikan pendakian. Tapi banyak pula pendaki yang tiba pagi itu. Dengan tenda masih berdiri sendiri kami menikmati rasanya hangat mentari sambil menunggu romobongan seniorku Kang Dono tiba beserta 6 murid SMAN 1 Purwodadi.

To Be Continue...

Monday, June 8, 2015

2 Gunung 3 Hari (Merbabu (Menuju Puncak))

Pagi hari tiba, tubuh yang lelah membuat kami yang berencana melihat mentari terbangun dari peraduanya dari puncak Gunung Merbabu tak dapat membuka mata pada waktunya. Akhirnya sang surya bangun terlebih dahulu, walaupun ketika kami duduk memandang angkasa pagi itu, mentari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya.

Angin masih bertiup, lebih perlahan memang, menyapa tubuhku yang rindu akan hangatnya mentari. Sekarang pemandangan berbeda terhampar di bawah kakiku. Langit bewarna jingga disinari sang mentari. Aku bisa melihat betapa tingginya aku berdiri. Betapa jaunya area yang telah di tempuh semalam tadi.

Warna hijau kekuningan hiasi punggung Gunung Merbabu, bebatuan besar dan pasir-pasir vulkanik menyelimuti area post kami. Aku berbaring di atas batu yang ukuranya lebih besar dari lebar tanganku. Mempersilahkan cahaya dan hangatnya mentari menghangatkan badanku. Tetapi aku tak bisa berlama-lama diam tanpa mendokumentasikan aksi teman-temanku terkesima menatap indahnya mentari. Mendokumentasikan mata hari yang malu-malu keluar dari peraduanya. Tanpa perlu berusaha, semua foto yang aku ambil terlihat indah. Rasa syukur ku panjatkan, alunanya dibawa terbang hembusan angin menuju cakrawala luas.
 
Pagi itu semakin tak terlupakan ketika kami para wanita memutuskan untuk memasak di bawah tiang pemancar. Kami siapkan trangea, roti, mentega, susu kental manis dan susu Milo tak lupa kopi untuk para lelaki. Semuanya berencana untuk sarapan roti bakar pagi ini, dan kita semua memiliki cara berbeda untuk membuat roti bakar. Padahal di kota, membuat roti bakar menjadi hal yang tidak perlu di pikirkan caranya. Mungkin rutinitas sarapanku setiap hari yang membuat aku terheran-heran mengapa membuat roti bakar di atas gunung dengan alat seadanya menjadi lebih menarik.

Memang, kehidupan di kota membuat ku melihat apapun yang terjadi dengan kacamata ‘Ah sudah biasa” sehingga taka ada hal yang membuatku tertarik. Tetapi hanya dengan kegiatan yang begitu simple seperti ini bersama orang-orang yang ku kenal dekat selama perjalan mendaki menjadi hal yang tak terlupakan.

Momen makan roti bakar pagi itu bertambah menarik dengan kehadiran tamu yang tidak di undang., monyeet!!!! Awalnya seekor monyet betina datang menghampiri post kami dengan siaga. Lalu kami lemparkan sobekan roti, dengan malu-malu ia mengambilnya. Kami terus berbagi robekan roti tawar hingga akhirnya seekor pejantan perkasa datang dengan gagah. Ia menakuti monyet betina itu pergi dan menunggu lemparan roti dari kami. Aku yang merasa begitu senang bersemangat langsung mengambil kamera, memasangkan lensa tele dan mendekati monyet-monyet itu untuk mengambil gambarnya. Tanpa takut-takut tetapi waspada aku coba mendekat dan merekam setiap gerak gerik mereka. Entah dari mana sekawanan monyet ini datang, takutnya, karena mereka sedang berburu makanan, kawanan lain akan menghampiri. Well, itu bukan takutnya sihh tapi aku berharap sekawanan lain akan datang.

Tanpa tersadar, mas Paul, mas Shouteng dan Fergie sudah mulai packing kembali. Aku masih sibuk dengan monyet di luar bergegas memasukkan barang-barang ke carrier agar tenda bisa dilipat. Begitu kami lengah dengan barang-barnag kami di luar, para monyet sudah berhasil mendekat. Untung saja aku waspada mengawasi barang di luar dari dalam.

Sekitar pukul 10 kami berangkat meneruskan perjalanan untuk memenuhi ambisi kami. Puncak! Walapun tak dapat melihat mentari bangun dari puncak, tetapi kami tetep bertekad bulat untuk menyelesaikan perjalanan ini. Terlihat beberapa pendaki, berjalan turun dari puncak kearah kami. Well, berbeda dengan di kota, kami semua bertegur sapa setiap berpapasan, seperti semut yang selalu bersalaman menggunakan antenanya ketika berpapasan di jalur yang sama.

Perjalanan ke puncak semakin menantang, batuan-batuan yang besar harus ku panjat sambil memikul beban yang rasanya tak berkurang, walau isinya sudah dimakan pagi ini. Di tambah, teriknya mentari yang membuat badanku berkeringat. Perjalana semakin terjal ketika aku harus mencoba memanjat bebatuan, mempercayakan tanganku sebagai topangan. Tetapi entah mengapa tantangan ini membuatku puas karena berhasil mengujicoba tips-tips rock climbing yang pernah ku tonton di film-film Hollywood.


Yang paling tak terlupakan adalah dinding batu yang harus di lalui dengan cara menempelkan badan ke dinding tersebut. Dengan lebar langkah yang hanya 1 telapak kaki, kami harus extra hati-hati, fokus pada pijakan dan pastiakan tangan menggenggam batuan yang benar. PErlahan-lahan penuh kehati-hatian kami semua bisa melalui dinding batu itu. Darisana, perjalanan tak lagi sulit, cukup landai dan puncak sudah mulai terlihat. Langkah kami semakin cepat, semakin semangat.

Rasa bahagia yang tak terbayangkan memenuhi hati dan fikiranku. Ter-rewind jauh pikiran ini kembali kependakian pertama ke Lawu dan di lanjukan dengan pengalaman mendaki malam hari yang baru terjadi semalam. KuasaNya, bila aku tak pernah menginjakkan kaki di Gunung Lawu, hari ini aku tidak akan berada di puncak Gunung MErbabu. Aku tidak akan bertemu dengan mas Paul, yang tanpa ragu mengajakku mendaki. Aku tidak akan mengenal Fergie dan Mas Shouteng.

Seseorang pernah berkata “ Elemen yang satu akan membawa Elemen yang lainnya.” - Kang Dono-

Puncak Gunung Merbabu sungguh luar biasa. Aku bisa melihat hampir semua gunung yang ada di Jawa Tengah dari setiap sisinya. Yang paling tampak dekat bagaikan selangkah saja adalah Merapi. Aku bisa melihat gunung Lawu tempat pendakian pertamaku yang membawaku ke Puncak Merbabu hari ini.  Terlihat juga Sindoro, Sumbing, Andong & Ungaran. Sungguh luar biasa alam Indonesia ini. Bersyukur masih cukup umur dan kuat tenaga untuk menikmatinya.

Foto-foto cukup untuk dokumentasi telah kami lakukan dikedua puncak Merbabu. Kemudian kami mencari tempat yang cukup teduh untuk mengisi perut sebelum melakukan perjalanan turun. Tetapi mataku belum puas memandangi pemandangan spektakuler yang mengelilingiku. Dengan penuh keserasahan aku pandangi benar-benar setiap detail lekuk-lekuk kontur bumi. Mataku belum puas juga, aku bayangkan jika semalam aku bisa menikmati langit, tidur di atas tanah puncak Lawu sambil menikmati miliyaran bintang terpampang di angkasa. Tetapi mengingat kuatnya angin aku hapus bayangan itu.

Siang itu kami coba sebisa mungkin memakan perbekalan kami. Memasak jelly rasa coklat dengan air seadanya, mie instan, sardine kaleng, sayur brokoli dan kol yang diberikan oleh Kepala Desa, tak lupa roti tawar sebagai zat padat yang dimakan bersama sardine. Tak jelas apa makanan yang kami masukkan ke mulut. Tetapi semuanya terasa nikmat. Menyantap makan siang di puncak gunung dengan ketinggian 3145 mdpl bersama sahabat-sahabat yang telah saling mendukung dan melangkah bersama-sama. Disuguhkan pemandangan spektakuler gunung-gunung di Jawa Tengah. What else we could ask for more?

Setelah perut terisi, kami bersantai sejenak, memuaskan hasrat mengambil foto-foto unik. Mulai dari foto dengan memegang pesan cinta, kangen untuk yang tersayang yang di tulis disecarik kertas, hingga foto melompat-lompat berbagai pose degan latar belakang Gunung Merapi.








Sunday, June 7, 2015

Pendakian ke 2: 2 Gunung 3 Hari (Merbabu- Naik)

(19/05/15) Sesampainya di camp Mawar sekitar pukul 11.30 siang perut lapar kami mencari nasi. Untungnya para penunggu Camp Mawar, sudah ada yang memasak nasi plus mie, jadi siang ini itulah menu makanan kami. Aku sebenarnya mulai lelah memakan mie, tapi pelajaran untuk bersyukur dengan apapun kenikmatan yang ada, itulah salahsatu pelajaran terpenting untuk ku dari perjalanan lintas alam. 

Dengan pikiran penuh semangat, aku berasumsi sehabis makan kita berempat (aku, Fergie, Mas Shouteng dan Mas Paul) akan bergegas menuju basecamp Merbabu di desa Cuntel. Asumsik, kita akan mulai menanjak sebelum matahari terbenam. Ternyata salah, aku melihat Fergie yang sudah lebih dulu mandi dan mengikuti langkahnya untuk mandi, siang itu terasa santai dan lambat bagi aku yang ingin segera memulai pendakian berikutnya. 

Sekitar pukul 2.30 mobil charteran kami tiba. Segera kami masukkan segala barang tanpa di pack terlebih dahulu. Rencananya, kami akan membeli logistik seperti: spiritus, air dan makanan instan sebelum sampai di Basecamp Gunung Merbabu. Perjalanan kira-kira 2 jam, aku yang semalam di puncak Ungaran tak dapat tidur nyenyak, langsung hilang di telan bunyi suara mobil. Sempat sedikit aku menikmati pemandangan pedesaan Ungaran, tetapi setelah itu aku tak tahu.

Hampir sampai di basecamp, kami berhenti di Indomart untuk membeli logistic. Seperti menemani anak-anak yang akan pergi piknik, entah kenapa Mas Paul yang aku anggap ahli dalam urusan pendakian, menanyakan setiap makanan yang perlu dibeli kepadaku. Padahal, aku tidak tahu seberat apa medan di sana dan apa saja yang harus di bawa?  Akhirnya aku pasrahkan pada mereka mau membeli apa.

Sesampainya di desa Cuntel, pintu basecamp di kunci dan tak ada yang menjawab nomor telepon yang tertempel di temboknya. Setelah mencoba menelepon beberapa teman Mas Paul, datanglah seorang lelaki yang menunjukkan jalan menuju rumah kepala desa. Di sana kami disambut dengan hangat. Tak lebih-lebih akupun diajak berbahasa Jawa. Hanya senyuman yang bisa ku berikan hingga akhirnya Mas Paul menjelaskan kepada Pak Kades bahwa aku dari Jakarta (dalam bahasa jawa :o).

Wajah kami yang masih penuh tekad dan
fresh setelah mandi :D
Senyum lebar masih menghiasi wajah
begitupun semangat 45



Kami disajikan nasi dan lauk secukupnya. "Setidaknya kali ini bukan mie." fikirku. Lalu tanpa menghabiskan banyak waktu kami memulai packing dan memasukkan semua makanan ke dalam tas. Para wanita bertugas membawa persediaan makanan, spiritus dan air. Sedangkan para lelaki membawa perbekalan tenda, sleeping bag dan fly sheet.

Sang Surya mengucapkan salam perpisahan kepada kami 
Sekitar pukul 5 kurang kami berpamitan kepada Pak Kades dan beberapa orang di desa Cuntel lalu berjalan penuh semangat menuju puncak. Perjalana kami memasuki hutan bagaikan mendapatkan salam perpisahan dari sang surya, yang melambat penuh keagungan kembali keperaduan. Langit bewarna jingga menghiasi lukisan pedesaan yang kini mulai menjauh. Subhanalla indahnya, kedua kalinya aku tertegun dengan sunset di pegunungan.

Pendakian ini akan dihiasi banyak bintang, diselimuti gelapnya malam dan diiringi oleh hewan-hewan malam yang sedang mencari mangsa. Aku sangat bersemangat dan agak waspada untuk mendaki malam hari. Oksigen akan lebih tipis dibandingkan siang, karena pepohonan mulai menghirup oksigen untuk bertahan hidup. Tanah mulai lembab oleh kabut dan pandangan terbatas. 

Selama perjalanan kami tak banyak bicara. Nafasku terengah-engah, Fergie mulai keram perut. Hanya para 2 lelaki gunung itu yang bisa mendaki sambil menghisap rokok (aku sungguh takjub). 

Mas Shouteng memimpin perjalanan, aku berusaha mengikuti pace-nya w
alau terkadang aku berhenti. Langkah semakin tak menentu, terkadang badanku mulai miring seperti ingin terjatuh. Sering kali kaki ini salah melangkah yang membuatku hampir tersandung. Hasutan-hasutan ego mulai kencang terdengar "ngapain sih capek-capek naik gunung gini? di atas juga gada apa-apa. Mending duduk-duduk santai aja gak usah ke atas". Tetapi semua fikiran itu tertepis setiap kali kami melewati daerah tanpa pepohonan dan kami bisa melihat hamparan lampu pedesaan tampak seperti bintang di bumi. Jauh, kecil, bercahaya indahnya. Seketika rasa lelahpun hilang, tenaga kembali ada ditubuhku. Kita pun memulai perjalanan untuk melangkah lebih jauh.

Perjalanan mendaki malam pertamaku. Setiap langkah yang entah mengapa terasa lebih berat. Apa mungkin karena tubuhku sudah hampir melewati batas kekuatanya karena baru saja aku menuruni satu gunung? Tapi tekadku berhasil mengalahkan rasa lelah ditubuhku. Dengan sedikit tertatih karena jempol kaki yang sudah kapalan (oleh-oleh ungaran) aku melangkah. Semakin keatas jalan semakin menantang, pepohonan mulai hilang, jalan berbatu, dipenuhi pasir vulkanik dan kami semua harus sedikit memanjat bebatuan. Situasi dimana tak banyak yang mata ini bisa lihat membuat kegiatan pendakian malam ini semakin menantang. Begitu lelah menyerang aku hanya butuh menegadahkan kepala ke atas dan menikmati hamparan bintang sembari menarik nafas dalam. Berucap syukur akan keindahan alam yang di ciptakan Sang Maha Kuasa. Sedikit tertetes air mata di pipiku sembari mengucapkan rasa syukur. Tiba-tiba tercium bau wangian bunga melati. Respon sepontanku mencium wewangian seperti itu adalah menanyakan kepada yang lain apakah mereka mencium hal yang sama atau tidak. Tapi mas Shouteng di depanku hanya terdiam begitu juga dengan Fergie dan Mas Paul. Dan aku mengerti bau itu adalah apa. Untuk menghilangkan rasa merindingku, berbisik aku berkata "Assalamualaikum, numpang lewat yaaa dan salam kenal." Seketika bau itu hilang.

Mas Shouteng, terus menyemangati kami yang mulai lelah mendaki. "Ayo sedikit lagi Post menara! Itu udah terlihat?" katanya memecah keheningan.

"Mana? Aku gak ngeliat mas?" Jawabku kotan

"Itu lhhoo masa gak kliaaatan?" Kata Mas Paul dari bawah sambil menunjuk ke langit penuh  bintang.

Terus saja aku mencari-cari di mana menara telpon yang akan menjadi tempat kami bermalam. Lelah mencari, aku memulai melangkah lagi. Tak terasa setelah berhenti menarik napas setiap 5 langkah, berbisik menyemangati diri sendiri bahwa akan ada sesuatu yang indah di atas sana. Tak lupa berdoa pada Yang Maha Mengetahui untuk terus melancarkan perjalanan ini dan berikan aku terus kekuatan, akhirnya kami sampai di Post Menara. Penuh semangat dengan kaki dan Carrier yang terasa 2x lebih berat jika dibandingkan saat aku mulai mendaki, aku berlari kecil dan melompat-lompat kecil. Senyum lebar tak hilang dari pipiku, melihat ke atas lautan bintang ciptaan Sang Maha Kuasa. Melihat ke bawah, hamparan lampu-lampu ciptaan manusia.

Pikiranku kembali ke tanah ketika angin bertiup kencang membawa rasa dingin yang membuatku bagaikan membeku. Lalu aku mengikuti teman-temanku pergi ke dalam bangunan kecil di samping menara untuk membangun tenda dan mulai memasak makanan hangat. 

Ketika unloading barang-barangku untuk memngeluarkan makanan untuk dimasak, aku tersadar jaket ku hilang. Atau tidak sengaja aku meminggalkanya ketika kita semua beristirahat di post dua. Jaket satu-satunya yang aku harap bisa menghangatkan badan selama bermalam di sini. 

"Ya... mba, kalo mau turun ke post 2 kayaknya jauh banget.." Kata Mas Paul penuh ke khawatiran.
Berusaha agar tetap tenang aku memberikan senyum lebar dan menjawab dengan ceria " Its Ok mas, Aku ada baju lengan panjang kok bisa di pake double biar anget. Nanti tinggal pake SB aja biar tambah anget."

"Ini Pake jaket aku aja." Kata Mas Shouteng sambil memberikan jaket polar nya. 

"Makasih mas, gak usah gak papa." Tetapi tanganku tak bisa menolak. hehe :D

Setelah perut terisi hangatnya milo dan mie rebus yang airnya cepat hilang terserap oleh mie-nya sendiri atau membeku karena dinginya angin. Entahlah. Aku mengikuti mas Shouteng yang berjalan di sekitaran area menara. Angin dingin menembuts jaket tebal yang dipinjamkan Mas Shouteng. Aku membawa kameraku dan berharap dengan alat seadanya aku bisa mendokumentasikan langit yang di penuhi bintang-bintang. 

Mungkin foto ini secara tehnik fotografi tidak sempurna.
Tetapi proses mendapat ketidaksempurnaan ini,
begitu sempurna dan takkan pernah terlupakan.
(Alat Terbatas ;p )
Kondisi angin begitu menantang. Entah mengapa setiap kali angin itu berhembus kekuatanya semakin kencang. Sepatuku tak terikat sempurna, celanaku basah oleh keringat pendakian, bahkan jaket yang dipinjamkan Mas Shouteng pun tertembus oleh angin Gunung Merbabu yang datang berhembus tanpa jeda. Padahal, untuk dapat memfoto bintang di angkasa aku harus men-set kameraku di BLUB dan menekan tombol capture kurang lebih 3 menit tanpa ada gerakan sedikit pun. Berhubung alat terbatas, tripo tak dibawa, button extension tidak punya. Ya sudah sekuat tenaga aku menahan nafas, menaha diri agar tidak gemetar. Percobaan pertama dan kedua gagal total, aku bisa melihat bintang tetapi buram. Akhirnya aku membaca bismillah dan berdoa kepada yang Maha Kuasa. "Ya Allah, mohon hentikan sejenak angin ciptaanMu agar hambaMu bisa mendokumentasikan keindahan langitMU. Bismillah." Dan keajaiban Ilahi terjadi. Angin berhenti di hembuskan selama 3 menit. Aku menghitung maju dari 1 hingga 120. Begitu tombol capture aku lepaskan angin kembali. Subhanallah, nikmat Allah yang mana lagi yang harus ku dustakan. Mataku pun Mulai berkaca-kaca. 


Nikmati foto-foto perjalanan kami disini 


Friday, June 5, 2015

Pendakian ke 2: 2 Gunung 3 Hari (Gunung Ungaran)

Setelah menginjakkan kaki kembali ke basecam Cemoro Sewu Maret lalu, fikiranku melayang untuk membuat perjalanan mendaki selanjutnya. JIka, saat pendakian pertama dilakukan bersama team travel Go Climb, sekarang aku berencana untuk melakukan perjalanan independen.

Semua jalan dipermudah, sampai pada akhirnya aku sudah duduk manis di kereta malam menuju Semarang (sabtu 16/05/15). Pendakian akan dimulai pada hari Senin pagi. Destinasi pertamaku adalah Gunung Ungaran sebagai pemanasan. Lalu di lanjutkan ke Gunung Merbabu.

Senin, 18/02/15 sekitar pukul 10 pagi aku dan ke 3 temanku memulai pendakian. Jalan yang cenderung landai sampai melewati perkebunan kopi sangat memudahkan kami semua. Baru saja memulai langkah, alam telah memberikan kenikmatan dengan mataairnya yang menyegarkan. Rimbunnya pepohonan sebelum memasuki kawasan kebun kopi, melindungi kami dari teriknya matahari siang. Perjalanan santai dan penuh percakapan untuk saling mengenal satu sama lain.

Kami ber 4 bukan teman dekat. 2 dari kami di pertemukan di Gunung Lawu, dan pertemanan berlanjut hingga akhirnya kami merencanakan perjalanan ini. Lalu temanku ini yang bernama Mas Paul, membawa 2 temanya lagi Fergie dan mas Shouteng. Di perjalanan menuju puncak ungaran inilah kami belajar untuk mengenal satu sama lain. Awalnya aku mengalami sedikit kendala, karena mereka bertiga yang berbahasa Jawa, jarang sekali memakai bahasa Indonesia. Namun itu tak menjadi alasan untuk ku mengenali kepribadian mereka.


Hamparan keindahan alam di bawah kaki kami
Pemandangan yang terbentang di bawah kaki kami selama menanjak luar biasa. Semakin tinggi kaki kami melangkah, semakin indah pemandangan yang terhampar luas. Mulai dari perkebunan teh dan kopi yang rapih, perkotaan di kaki gunung hingga awan biru bersih yang spektakuler menambah kesan lukisan dari pemandangan yang berhasil membuat ku tertegun dan berucap Subhanallah tanpa sadar.

Hampir menuju puncak, perjalanan mulai sedikit menantang. Bebatuan yang harus dipanjat dengan sedikit usaha. Entah mengapa aku suka bagian ini. Melelahkan memang, tapi memanjat membuat adrenalin ku terpacu dan menetukan batu mana yang harus dipijak memberikan keashikan sendiri.

Siang hari kami tiba di puncak Ungaran. Hamparan luas 360* derajat bisa dinikmati. Berhubung perut kami lapar, langsung saja tanpa berlama-lama kami dirikan tenda di kawasan hutan dekat puncak lalu memasak. Perjalanan gunung kali ini berbeda dengan sebelumnya. Dimana Lawu terdapat Warung Mbo Yem sehingga tidak perlu khawatir logistic. Di sini kita harus membawa semuanya dari bawah.

Seperti akan tinggal di gunung 1 minggu, persediaan logistik yang dibawa cukup banyak. Ya, bisa di tebak: mie instan, beras, sardine, roti, bubur instan, kopi, susu. Setelah makan, matapun menjadi lelah. Dan aku mencuri waktu untuk tidur siang.


Photo by the couple (Paul & Fergie)
Aku terbangun oleh suara semangat dari Mas Paul dan Fergie yang mengajaku melihat sunset di puncak Ungaran 2050 mdpl. Kamera ku sudah lenyap dari tas berpindah ke tangan mereka. Awalnya aku kira keindahan sunset hanya bisa dinikmati di pantai. Tetapi, ternyata di puncak gunung sunset memilik warna sendiri dan itu me
nakjubkan. Lagi-lagi sebuah Maha Karya Sang Pencipta.

Malampun tiba, tak banyak yang bisa dilakukan selain memasak, bersenda gurau di sekitar api unggun menghangatkan badan. Ikatan kami semakin erat. Mas Shouten yang awalnya tak banyak kata denganku mulai membuat candaan. Salah satunya candaan ketika aku menunjukkan muka cengok ketika mereka bercanda dalam bahasa Jawa.

Esok paginya, sekitar pukul setengah 6 kami bangun, langit sudah terang. Aku fikir kita terlewat momen sunrise, tetapi langit yang terang masih menyembunyikan matahari yang ternyata keluar malu-malu. Pemandangan yang tidak kalah spektakuler ketika sang mentari keluar dengan penuh keagungan. Aku yang biasanya cerewet, kehilangan kata-kata. tak ada yang lain di benak dan hatiku selain Yang Maha Kuasa. Mata ku mulai berkaca-kaca memberikan salute  kepada Pencipta Alam Semesta. Berterimakasih karena tubuhku masih 
diberikan izin untuk melihat ciptaan Nya.

Perjalanan turun tidak seberapa sulit dan lebih cepat. Tetapi entah kenapa aku lebih suka naik. Membayangkan langkah turun perlahan dan menjauhi puncak dimana sebuah kepuasan yang aku temukan terletak karena merasa ada di dekat Nya membuat ku sedih. Tetapi memandang ke depan, bahwa masih ada satu gunung lagi yang harus di tempuh sore ini membuatku semangat untuk menuruni gunung Ungaran kembali ke camp Mawar.





Friday, May 8, 2015

Aku Keturunan Papaku Asli!

Band of Brothers
Dua bulan terakhir ini aku memiliki hobi baru, setelah pendakian pertama ke Gunung Lawu yang modalnya iseng-iseng pengisi waktu telah membuatku ketagihan untuk mendaki. Alhasil tanpa ragu-ragu planning untuk melakukan pendakian sudah tersusun rapih hingga akhir tahun. Setiap ada teman baru yang berkenalan di sosial media (pas di gunung cuma say hi and bye doank, sampe  ke dataran rendah jadi temen) untuk naik gunung, bergegaslah aku melihat jadwal pendakian yang sudah tersusun. Semangat 45 selalu berkobar setiap pembicaraan mengenai gunung.

Baru-baru ini, aku mengikuti acara Bandung Climbathon 2015. Sebuah acara Marathon Gunung yang pertama kali ada di Indonesia. Gagasan untuk mengadakan acara ini berasal dari Om Vicky, dia adalah teman lama Papaku. Awalnya kita berkenalan karena aku baru saja resign dan belum mendapatkan pekerjaan. Karena om Vicky juga punya bisnis di bidang Desain Grafis di pertemukanlah kita. Eh ternyata yang menarik hatiku bukanya kerja di kantor Desain Grafisnya tetapi ikut dalam kegiatan alamnya. 

Setelah pendakian pertama bersama Go Climb, yang rata-rata pesertanya berusia 3x lebih tua, aku dengan sukarela menawarkan tenaga untuk bantu-bantu jika Om Vicky butuh tenaga amatir. Yah apalah artinya tenaga jika bisa di tukarkan dengan ilmu dan memperluas koneksi. Dari setiap pendakian aku pasti bertemu teman baru, role model baru yang dengan terbuka mau mengajarkan ilmunya.

Band of Brothers 2
Hari ini ketika aku baru sampai rumah, mama sedang membersihkan rumah. Saat sedang ngobrol bersama mama, mama memberitahuku bahwa Ia menemukan album foto yang isinya foto Papa, Om Vicky dan teman-temanya sedang naik gunung Kerinci ketika mereka kuliah dulu. Dengan penuh semangat aku bongkar tumpukan foto album tua. Seperti menemukan harta karun, dengan senyum lebar aku balik satu persatu lembaran foto album itu. Aku dapat mengenali wajah papa. Walaupun agak sulit, tapi aku bisa mengenali wajah Om Vicky. Senyum semakin lebar berkembang di wajahku. Perasaan bangga dan puas melihat bahwa darah petualangan ini memang mengalir dari Papaku. Yaaa, walau aku wanita tapi tidak ada yang bisa menghentikan kemauan dan obsesiku untuk menikmati alam, karena aku anak Papaku :D.
I think this must be during 80's

Gunung Kerinci, Sumatera Barat 

Wednesday, March 25, 2015

Pendakian Pertama

Sejak pertama kali National Geographic Magazine hadir di Indonesia, aku sudah jatuh hati dengan keindahan alam dan segala habitat makhluk hidup di dalamnya. Kalau tidak salah itu ketika aku masih SMP. Majalahnya pun aku koleksi karena aku yakin suatu saat nanti ketika bumi sudah habis di eksploitasi aku bisa melihatkan anak cucuku betapa indahnya Bumi dahulu. Rencana yang begitu jauh kedepan.

Well, sejak saat itu aku bercita-cita jadi conservationist, ikut mendonasi di beberapa NGO seperti WWF dan Greenpeace, hidup tanpa pelastik saat sedang berkuliah di Malaysia. Sempat juga bercita-cita untuk ikut grup pecinta alam ketika berkuliah nanti. Sayang sekali di kampusku dulu rata-rata penghuninya berkeringat saja malas, ketika akan di buat Scout group oleh guruku yang berasal dari Dayak, hanya aku seorang perempuan yang mendaftar. Sedih memang.

Cita-citaku sehubungan dengan alam begitu banyak, mulai dari ingin menjadi dokter hewan dan bekerja di kebun binatang Australia seperti idolaku Steve Irwin, bekerja volunteer di NGO yang bergerak di bidang perlindungan satwa dan alam sampai cita-citaku yang tidak pernah mati hingga saat ini, yaitu menjadi Wildlife photographer untuk National Geography. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan arah dan kesempatan untuk menggapai cita-citaku yang terakhir.

Aku sangat menikmati keindahan alam yang alami, baik itu di puncak gunung atau di bawah laut. Tahun lalu aku berkesempatan meng-explore bawah laut di Kepulauan Seribu dan meliahat keindahannya. Recently, aku berkesempatan ikut menaiki gunung tertinggi ke2 di dataran Jawa.



Pemandangan dari puncak Lawu


Tanggal 20-22 Maret 2015 lalu aku pergi bersama beberapa orang lainya mendaki gunug Lawu di Solo. Dengan penuh semangat aku mempersiapkan alat-alat yang di butuhkan. Papaku dulunya pendaki gunug dan penjelajah hutan karena dia adalah geologist. Papa membantuku menyiapkan segalanya, bahkan menyuruhku latihan dengan membawa carrier yang di isi botol minum, namu aku tak mengindahkanya, karena menurutku rutinitas ku berlari 2.5 kilo di gym sudah cukup menjadi garasnsi bahwa staminaku okay.

Karena aku merasa tertantang dengan statement papa bahwa aku gak akan kuat mendaki dengan berat carrier sekitar 7kg aku setengah mati mempertahankan niatku menggendong tas itu sampai puncak dan membawanya turun pun sendiri. Alhasi di dalam satu group berjumlah 17 orang dan perempuan 6 orang, Aku adalah salah satu dari 2 orang yang membawa carrier sendiri tanpa porter. Tentu saja beban di bahuku semakin terasa ketika pendakian semakin tinggi. Graviasi mulai menambah penderitaanku. Berkali-kali aku hampir oleng di buatnya. Tetapi semangat yang diberikan oleh Om dan Tante yang ikut dalam perjalanan membuatku tetap optimis bahwa aku mampu. Wong mereka aja yang umurnya 2kali lipat lebih tua dariku mampu. Bahkan saat yang bersamaan bocah 5 tahun juga ikut mendaki. Jadi aku tak boleh kalah. Begitu aku mulai menyerah terbesit beberapa kalimat yang aku bacar dari buku Negeri 5 Menara selama perjalanan ke Solo. " Kalo tidak kuat 100m lagi coba 200m lagi. Kalo masih gak kuat 200m lagi coba 500m lagi. Kalo gak kuat 500m lagi coba 1km lagi' gumamku dalam hati sepanjang perjalanan.

Bawaanku ketika mendaki- photo by Astari


Tak hanya tekad ku yang kuat berhasil membawaku ke puncak, tetapi pemandangan selama perjalanan dan keheningan yang ada membuatku lupa akan beratnya beban yang harus di pikul. Dalam langkah mulai perlahan aku memandang langit yang cerah biru, walau sebagian besar tertutup rindangnya pohon atau kabut. Bau harum rumput dan dedaunan basah oleh mebun, tanah yang gembur, suara burung berkicau, memberikan sebuah ketenangan dalam jiwa. Rasanya seperti di purify lagi, dan aku tersenyum sambil humming sepanjang perjalanan.

Semakin mendekati puncak, pemandangan semakin indah, pengalaman yang luar biasa bagiku karena berhasil mencapai puncak dengan kegigihan usahaku sendiri. Pemandangan yang bisa ku lihat di tempat kami akan bermalam sungguh menyejukan mata, rasa lelahpun hilang. Tapi begitu malam tiba badanku rasanya linu, terutama betis dan kakiku.
Kabut yang menutupi kedalaman jurang 

Trek Pendakian

Suatu kejutan untuk ku bahwa di atas tidak ada air, dan yang dikatakan toilet adalah sebuah gubuk sederhana yang bisa terlihat dari luar, lalu di dalamnya terdapat lubang yang sudah di semen rapih sekelilingnya. Lubang itu mungkin seukuran 20x35 cm dan kedalamnya 1,5m. Tapi mendengar cerita para seniorku yang sudah menaiki berbagai gunung, fasilitas ini lumayan. Well, mau gak mau aku harus beradaptasi karena gak ada pilihan lain.

Paginya sekitar pukul 5 pagi, kita semua bersiap-siap untuk menaiki puncak dan melihat sunrise. Hanya saja di Lawu, matahari muncul lebih cepat di banding kan di Bromo. Sehingga begitu sampai ke puncak sudah terang. Tetapi pemandangan begitu menakjubkan dari ketinggian 3265m Dari Permukaan Laut. Kami ber foto-foto dengan antusias agar moment dan jeri payah mendaki tersimpan abadi di kamera kami. Aku merasa perjalanan terbayarkan, aku bersyukur karena masih di berikan kesempatan dan kekuatan untuk menikmati alam ciptaan Sang Maha Kuasa.

Setelah sarapan nasi pecel bikinan Mbok Yem, kami turun menempuh jalur yang berbeda dari saat mendaki. namanya Cemoro Sewu, lama perjalanan lebih singkat dari jalur pendakian Cemoro Kandang, tapi sepanjang jalan turun kami harus malalui tangga-tangga terbuat dari batu yang tingginya beragam. Seringkali aku haru duduk terlebih dahulu untuk menuruni satu anak tangga.

Perjalan di persulit dengan hujan yang tiba-tiba datang. Di tambah jas hujanku gagal berfungsi, sehingga ketika kami kira hujan mulai reda, Om Agus menyarankan untuk di buka saja dari pada panas. Hanya 5 detik setelah aku membuka jas hujan, hujan kembali bersemangat deras membasahi. Karena sudah terlanjur basah, aku berjalan dengan semangat menuruni jejang-jenjang batu. Lama kelamaan aku merasa kedinginan, rambut yang di tutupi topi sudah basah kuyub, carrier semakin berat karena basah, sepatu pun perlahan mulai menampung air. Langkahku semakin berat, medah perjalanan turun yang itu-itu saja membuatku mulai bosan dan kelelahan. Tetapi di bantu oleh salah satu porter Mas Ledheng (nama gaulnya) dan teman bicaraku Astari aku tetap berkicau untuk membuat perjalanan menjadi lebih bersemangat. Di post terakhir sebelum pintu basedcamp kami beristirahat karena kaki sudah mulai ngetrill bergetar. Tiba-tiba ada seorang anak smp/sma perempuan yang jatoh pingsan. Sejurus teman-teman perjalananku yang hanya berempat mulai kawatir dengan kondisiku yang harus membopong carrier yang semakin berat dan badan yang basa kuyup. Tetapi aku meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Setelah pos satu perjalan menjadi cukup landai, hanya batu-batu yang tersusun tidak teratur memberi resiko tersandung atau terpeleset. Tetapi aku berusaha mengatur langkah lebih cepat dan stabil, karena aku tidak mau terkena hipotermia lalu pingsan dan siapa yang akan membopong badanku yang perkasa ini beserta carriernya?

Langkahku begitu cepat sehingga meninggalkan ke4 temanku di belakang. Mereka sudah mulai lelah, lutut mulai linu dan kaki yang sudah mulai lecet. Hanya 1 perbedaan mereka dengan ku, mereka tidak basah kuyub. Aku bergegas melewati jalan yang semakin lama semakin datar. Begitu melihat beberapa pondok dan gapura basecamp aku tersenyum lebar dan menyemangati diriku lagi bahwa langkahku hanya tinggal beberapa meter lagi. Tapi sisi lain hatiku sedih bahwa perjalananku harus berakhir sebentar lagi. Usaha yang aku kerahkan melawan rasa lelah tubuh sendiri selama pendakian dan jalan turun telah menjadi bukti bahwa selama aku mau berusaha apapun pasti terjadi. Perjalanan yang hanya 2 hari ini telah membuatku lebih optimis. Aku memiliki keluarga dan teman-teman baru, pengalaman dan pemandangan yang sudah di simpan dalam-dalam di otak dan lubuk hatiku. Walau ketika mendaki dan badan juga nafas mulai lelah aku terbesit pikiran 'Apaan sih nih pake ikut-ikut naik gunung segala?!' kesalku ketika itu. Tapi aku tau pasti sekarang aku ketagihan. Cerita para tante dan om yang sudah menjelajahi Rinjani dan betapa indahanya KErinci membuatku tak sabar, menunggu program-program acara lain dari KARASH untuk pendakian yang lebih menantang. Sekarangpun aku bertanya-tanya kapan lagi aku akan mendaki?


Buku Penyemangat Ku

Pict was taken from Intan's Blog

Sekitar 2 minggu lalu aku bertemu dengan seseorang yang wajahnya atau namanyapun aku tak kenal. Kami sedang berada di salahsatu Museum di Jakarta untuk menjalankan tugas penting. Kemudian, aku di perkenalkan dengan sesosok lelaki ini. Badanya tidak tinggi, rambut agak gondrong dan berkacamata. Namanya Ahmad Fuadi, tanpa tau siapa dia aku berjabat tangan saja santai. Lalu ketua acara ku menjelaskan bahwa abang Ahmad Fuadi ini adalah penulis novel Negeri 5 Menara yang sudah di buat filmnya. 

Jujur saja semenjak aku melihat sampul buku ini saat baru terbit tahun 2009. Sampul depanya telah menarik perhatian ku. Sebagai designer seringkali aku membeli buku hanya karena sampul depanya. Tetapi entah kenapa niatku untuk membelinya selalu tertunda. 

Sampai akhirnya 5 hari yang lalu aku membeli buku ini. Rasa penasaranku lebih besar dengan cerita di dalam buku ini karena aku telah bertemu dengan sang penulis. Awalnya semangat membaca hanya sekitar 20%. Tetapi kisah dibuka dengan latar Ranah Minang membuatku membayangkan kampung halamanku sendiri di Bukittingi, Tempat yang di deskripsikan oleh Abang Ahmad Fuadi pernah aku jelajahi dulu, sehingga tak sulit untuk membayangkanya. Semakin lama buku itu menarik perhatianku. Dalam perjalanan HIking Jakarta-Solo dengan kereta yang memakan waktu 8 jam, Aku dapat menghabiskan 3/4 buku itu.

Buku Negeri 5 Menara mengisahkan perjalanan seorang remaja yang harus mengikuti impian Emaknya agar anak laki-lakinya menekuni Agama dan berjuang di jalan Agama. Iyapun pergi ke tanah Jawa untuk menuntut ilmu di Pondok Madani, Surabaya. Sebuah sistem pendidikan yang membuat aku terkagum-kagum membacanya. Terasa berat memang untuk hidup cara murid-murid pondok itu, tetapi mengenang masa sekolah dulu, karena situasi dan kondisi tanpa pilihan lain yang harus ku hadapi sebagai murid, membuatku menerjang dan melewati kesulitan itu sebesar apapun. Membacar novel ini, membuatku berharap untuk kembali ke masa lalu dan bersekolah di sekolah seperti ini. 

Satuhal yang sangat mempengaruhi hidup ku setelah membaca Negeri 5 Menara adalah, ke-ikhlasan untuk menuntut ilmu, menerima ilmu, membagi ilmu adalah cara yang menurutku indah untuk membuat hidup ini berarti. Segala sesuatu harus di perjuangakan semaksimal mukin lalu berserah diri pada Allah merupakan ke iklasan sejati yang sering kali kita lupa. Yang ada malah menantang balik kepada Nya kenapa Ia tidak memberikan hasil sesuai keinginan kita.

Begitu banyak nilai-nilai kecil namun indah untuk di amalkan yang sering kali kita terlupa dalam buku ini. Walaupun agak terlambat membahas buku ini sekarang, tapi tetap saja aku butuh menuliskan dan menyebarkan kebaikan buku ini bagi teman-teman semua yang belum sempat membacanya. Tidak ada Ilmu yang lebih baik selain di sebarkan ke yang lain, bukan begitu.

Selamat membaca buku Negeri 5 Menara dan terinspirasi :D

'Man Jadda Wajada- Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil!' Negeri 5 Menara

Thursday, March 5, 2015

Special Notes for the Persons I Admire


I have been down this past view months, ended my 5 years relationship one day after my birthday. Quit my job that actually payed me a lot as a fresh grad, got dump from my new relationship that only survived for 2 months on Valentine's day (well I never care about that day, but somehow others care and the city was full of LOVE that day. Until even I forget the hurtful feeling for couple hours). 

Anyway, I believe this just some rough patch I should cross in order to find something beautiful later. Trying to be positive to face this all things is a hard work. One day I thought I am ready to letting all the bad things go and with so much optimism planning to go ahead with my life. Then the next day I would be cluttered with so much grey cloud about the feeling of betray, not worthy and think of giving up. Then of course came along a time when I would just used soo many bad words addressed to them. 

But then, I came back to the place when I am tired of hating them, I am tired to wish them a bad luck. Because keeping that inside me will not takes me any further. Well instead I would like to wish and thank you one by one.

Without the need to mention names I would just going to write one or might be several positive things I've learn from you and makes me remember you when i cross that moments.

Firstly, thank you for 3 of my 1st best friends in Malaysia, even though at the end we didn't become friends anymore. But you guys had gave me the survival kit to survive Malaysia. You've showed me different places in KL and introduced me to several buddies and made me part of your group. I won't even forget those time from my life.

Second, to a Guy that I owed apology for hurting him by ending up our 5 years relationship. I would like to send many thank and gratitude to you. You've been a biggest influence in my life a part my parents. You showed me that world is cruel, life is not like a bubble that fill with rainbows and butterfly. You were always encouraged me and believe in me with whatever step I took. Sometimes it ennoyed you because I would just tell something but never made it happen. You taught me to Love my brother and made my mother and father as always number one priority, 'because when they are gone your life will changes'. You were the person I missed the most, I got excited with and I loved. Sometime when I went to a movie, I hope I have friend like you who well got very excited and discuss every scene in the movie until our heart contained. Or just playing guessing which production house icon will appear in the beginning of every movie we watch just by listened to the jingle. I missed to have a fighting mate that not value me as a woman but a fighter. You've though me up in every way possible. I will never forget every moments we had spent together and I wish nothing for you beside happy life and a great success to catch your goal to be the richest person on earth so you can do alot of charity. Ps: Don't forget to care about nature and animals :)

Third, for the great heads of the company I was worked with. Thank you for inspired me every time we had a chance to talked. All the bosses that loved to over praise me in front of clients or others, I really thank you, because you might not realise it, but It had always boosted up my confidence and spirits to create something new and fantastic! You've showed me the good and bad leadership so I can learn from it. You guys, tough me the field that I wasn't have any idea about it at all and now, I think I can teach other about it. By me worked in your company, I found my new set of friends that now I consider them as my family and they are always kind to me. One quotes that I applied during the decision making process to just resign from your company actually came from one of you boss 'When you not passionate about your job anymore, just go resign and find your passion. Don't waste your time force it.' Really thank you for that. 

Fourth, I would like to thank my dearest friend that showed me another side of life. The way you living your life has inspired me in such a way that I cannot describe. You had opened my eyes to the life afterlife, which I never even thought about it before. You are the most complicated dude I ever now, but then I realised you just trying to be strong to face all the unpleasant things around you. I admire your working and corporate attitude, soo damn professional!  And your self control is amazing. Sometime along the way, I realise I still have some habits that remind me of you. Like everytime I eat with spoon and porcelain plate, I will carefully spoon my foods so there will be no friction noise that you hate the most. Everytime I see soy sauce and kinder Beuno chocolate it reminded me on how much you love both of it. Or everytime I turn on Prambors Radio, I could recall your weird crisp laugh when the announcer said something totally not funny for me :P. Thank you for encouraging me to write to help my creativity. It is totally work!. I wish you a happy life a head. Believe in your heart that you will find your peace. 

Really wish from the bottom of my heart, you have eternal happy life. Because happiness is not easy to get. I cherish all the time we spent together, from where I was and what I become today. Really blessed to be able to know you all. :D 

Let's Move Forward!



Thursday, February 26, 2015

Food Truck Tak Hanya Sekedar Bisnis


Hari ini untuk pertama kalinya gw menghadiri acara foodtruck festival di Cibubur Time Square. Acara yang di hadiri lebih dari 10 pemilik food truck atau food wagon berjajar rapih di sepanjang tempat parker Cibubur Time Square. Makanan yang mereka jual beragama, ada real Mexican Taco, Asian Fushion Taco, Burger, Corndog, Yakitori, Potatoes with various toppings and many more. Berhubung saat itu gw baru saja melahap semangkok besar salad di rumah, alhasil perut ini tidak begitu lapar, padahal begitu banyak makanan yang rasanya ingin dicicipi. Untuk menentukan pilihan yang tepat akhirnya gw dan sepupu gw memutuskan untuk membeli makanan bedasarkan design truck yang paling kece dan menu yang ditawarkan. Mata gw jatuh kepada design truck milig Gogo Amerigo dengan menu yang beragam, ada Chicken schnitzels, Swedish meatballs, thai tea dan masih banyak ragam lainya. Best Seller menu mereka adalah Swedish Meatballs dengan harga 45,000.
 
Gogo Amerigo Food Truck

YUMMY


Rata-rata orang Indonesia pertama kali mencoba Swedish Meatballs pasti dari Ikea. Well karena gw udah pernah coba Swedish meatballs dari Ikea Hongkong dan Malaysia, rasa Swedish meatballs Ikea Indonesia agak kurang (salah fokus). Anyway, Swedish Meatballs dari Gogo Amerigo ini enak banget luar biasa. Satu porsi berisi 4 buah meatballs yang kerasa banget dagingnya, di alasi dengan mashed potato yang tersembunyi di dasar mangkoknya. Dan di lumuri gravy yang sangat tasty dan enak banget di makan saat anget. Di atasnya di berikan tetesan dari buah berry Swedia yang manis. Rasa dari setiap gigitan meatball ini sederhana tapi memuaskan dan kalau malam ini gw gak kekenyangan, gw bakalan nambah lah semangkok lagi. Recommended!

Sepupu gw menentukan pilihanya ke Kai Pacifica. Food Truck mereka di cat bunga-bunga motif Hawaii. Dari jauh bisa di tebak bahwa mungkin mereka akan menjual hidangan bertema ikan. Ternyata begitu gw mendekat, makanan yang di jual adalah Tacos dengan Asian Fushion. Sepupu gw mencoba salah satu best seller mereka, yaitu Salmon Tacos. Roti Tortilla yang di alasi dengan rumput laut, di berikan sayur selada dan potongan Salmon, lalu di berikan Mayonnaise ala Kai Pacifica. Simple but tasty.  Buat yang lagi diet, makanan mereka sangat simple dan cocok untuk memuaskan rasa lapar kalian tanpa perasaan bersalah.


Kai Pacifica Food Truck



Anyway, berhubung misi utama gw untuk menghadiri acara Foodtruck ini adalah mencari informasi tentang pengalaman dan cara para pengusaha muda ini membuat bisnis Food truck mereka, gw dengan malu-malu tapi suara lantang memanggil salah satu pemilik dari Gogo Amerigo Food Truck. Namanya Mas Puput (beneran laki lho ini, ganteng lagi…azeek) anyway, belaga sebagai wartawan, gw memulai wawancara dari basa basi hanya sekedar bertanya sudah berapa lama menjalankan bisnis ini hingga modal yang dibutuhkan. Pembicaraan yang sangat inspiratif ini berlangsung kurang lebih 30 menit. Selamat 30 menit itu gw di kenalkan dengan beberapa food truck owner, mereka ikut berbagi kisahnya.


Dengan agak segan gw mengutarakan keinginan dan cita-cita gw untuk memiliki bisnis food truck sendiri. Dengan semangat 45 Mas Puput menyemangati gw untuk membuat cita-cita gw menjadi nyata dan dia beserta AFTI (Asosiasi Food Truck Indonesia) siap membantu new comers membangun bisnisnya. Karena walaupun mereka kompetitor para anggota AFTI juga saling memberi semangat satu sama lain demi kemajuan bisnis Food truck di Indonsia.  Let see, semoga bisnis food truck ini adalah jalan hidup gw. Mohon doa nya.